Malam tahun baru. Kembang api berloncatan dan meledak di angkasa. Langit hitam jadi tampak meriah, tidak sepi seperti biasanya. Aku ikut turun ke jalanan bersama massa yang berjalan beriringan. Kami digiring oleh cahaya kembang api dan suaranya yang meletup-letup. Bahkan, rasanya, lalu lintas jalanan jadi lebih lambat.
Senyumku mengembang gembira. Sorak-sorai mengamini euphoria ini. Iring-iringan makin ramai. Anak-anak dengan bandana warna-warni dan bercahaya ikut dalam barisan bersama para orang tua. Sekelompok remaja di depanku sibuk cekikikan sambil mengarahkan ponsel dan berpose. Polisi lalu-lintas meniup peluit. Tangan mereka melambai tak henti-hantinya mengatur kendaraan dan pejalan kaki yang lewat. Cahaya kembang api terlihat makin terang benderang.
Semua orang sudah sampai di taman, tinggal sedikit lagi berada tepat di depan festival kembang api. Langkahku lalu terhenti. Aku tak pernah pergi ke festival kembang api. Kami selalu naik ke tribun, aku dan Rum. Aku merasa, aku akan kesepian meski aku berada di tengah keramaian. Maka aku berbelok ke utara, ke tangga aspal menuju tribun tinggi alun-alun. Di situ, ada deretan bangku aluminium. Tidak banyak orang yang naik. Festival diadakan di bawah dan orang-orang cenderung mendekat. Duduk berkumpul, bukan terpisah-pisah begini. Menurut aku dan Rum, kembang api jauh lebih indah jika dinikmati dari ketinggian. Kelihatan jauh lebih jelas dan dekat.
Aku mencari-cari bangku yang kosong di antara pasangan muda-mudi yang saling berangkulan dan bersandar. Oh, benar. Orang-orang tidak mau naik ke sini karena di sini ruang untuk yang ingin berduaan, bukan yang datang sendirian atau yang berkelompok dan senang menciptakan keributan.
Aku berhasil menemukan spot sempurna untuku, tapi kemudian aku menangkap punggung seseorang. Itu Rum. Dia duduk di bangku paling dekat dengan pagar balkon, tidak terganggu oleh pasangan di sampingnya yang tengah berpelukan. Rum sedang memegang kaleng minuman. Di sampingnya, tergeletak tas dan bungkusan popcorn.
Sudah lama sekali rasanya semenjak terakhir kali aku bicara dengan Rum. Kami tidak pernah bertemu secara tidak sengaja di lift, tidak pernah memancing percakapan di ruang obrolan dengan pesan 'salah kirim'. Rum dan aku tidak saling mencoba untuk berkomunikasi.
Aku mendesah, lalu menghampiri Rum."Rum."
Rum menoleh kaget. "Will?"
Sudah lebih dari tiga minggu. "Boleh aku duduk di sini?"
Rum melempar pandangan bingung ke lantai, lalu menggeser tas dan berondong jagungnya. Aku duduk dengan canggung. Satu lagi kembang api meledak di atas kami. Kelopak jingga-merahnya menyala-nyala sebelum hilang.
Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi bicara menjadi sulit karena status pertemanan kami yang sedang rumit. "Rum, aku-""Tidak seharusnya aku bersikap begitu, memang." Rum menatap lurus pada pendaran kembang api. Cahaya terpantul jelas di bola mata Rum. "Aku sadar sekarang, tindakanku secara sengaja memberimu trauma baru."
"Tidak, bukan begitu." Aku spontan menyorongkan badan. "Kau tidak melakukan sesuatu yang buruk padaku."
Rum tersenyum. "Hanya caranya yang salah?"
Aku terdiam, lalu kembali duduk lurus. "Aku merasa makin payah saat kau tanya kenapa aku tidak bisa mengendalikan emosiku, kenapa aku tidak punya motivasi? Jelas aku payah dan tanpa harapan, tapi aku yakin kau hanya berkata begitu tanpa maksud menjatuhkanku. Aku sangat sensitif waktu itu dan mudah terpancing oleh hal-hal kecil. Aku bahkan enggan ke arisan keluarga karena takut ada yang bertanya di mana aku bekerja sekarang. Aku setakut itu sampai-sampai sering termenung sendirian dan menangis."
Cara Rum memandangiku bak air kolam yang bergelombang: tak tenang. Ia menarik napas berat. "Aku telah membuatmu tidak nyaman."
"Tidak, tidak."
"Maafkan aku," potong Rum, kelihatan mau menangis. "Aku telah mengabaikan perasaanmu."
Mataku terasa pedas. "Aku juga minta maaf karena telah mengabaikanmu."
"Aku pantas mendapatkannya."
"Tidak."
Rum tersenyum getir. "Kau temanku yang paling kusayang. Aku telah mengecewakanmu. Maafkan aku."
Ia terisak, lalu memelukku. Aku balas memeluknya tanpa bisa lagi menahan tangis. Sejenak kemudian, Rum melepaskan pelukan. Ia mengusap air mata. "Bagaimana kabarmu sekarang?"
Aku merogoh tisu dari tasku, membaginya dengan Rum seraya menjawab, "Jauh lebih baik. Aku merasa sudah bisa berdamai dengan masa lalu."
"Luar biasa!" Rum tersenyum lebar di sela-sela isakannya. Pipinya sembap dan merah. "Apa yang kau butuhkan sekarang, Will? Aku siap membantu."
Aku tergelak meski mata berair.
"Bagaimana dengan Ash?"
Tanganku melipat tisu di paha. "Kami justru sedang tidak baik-baik saja."
Kening Rum mendadak berkerut. "Kenapa? Oh, tidak, apa itu gara-gara aku? Will, kalau boleh jujur-"
"Iya, aku tahu." Aku terbahak sambil menggeleng. "Bukan gara-gara kau."
"Lalu?" Rum membungkuk penuh perhatian untuk mendengar jawabanku. Aku menghela napas. Bagaimana aku bisa menjelaskannya pada Rum?
"Intinya, kami sedang tidak saling bertemu."
"Apa ada kemungkinan kalian baikan?"
"Ada," ucapku lirih, "kalau dia mau."
Rum menyedot udara, lalu menggosok hidung. "Jangan terlalu dipikirkan. Kalau dia jodohmu, dia akan kembali lagi."
Aku berterima kasih. Rum bertanya lagi. "Kau sendiri masih mau bertemu dengan Ash?"
Tentu saja. Aku mengangguk.
"Kalau begitu, segera bicarakan dan kembalilah berkencan." Rum tergelak sendiri.
"Aku merasa tidak enak karena aku pernah melabraknya." Ia melirikku. "Apa dia dendam padaku?"
"Tidak, dia sudah melupakan kejadian itu." Tapi dia cukup kejam jika marah.
"Syukurlah." Rum menyobek plastik pembungkus pocorn, lalu kembali menoleh padaku. "Apa kau marah padaku soal itu?"
Aku tersenyum lebar. "Tidak, Rum. Serius."
Ia menyodorkan popcorn padaku. "Jadi, apa yang terjadi pada kalian?"
Apa yang terjadi pada kami? "Ada kesalahpahaman. Kami masih belajar untuk saling memahami."
Tanganku meraup segenggam kecil popcorn, lalu menyuapkannya ke mulutku. Suara kriuk bersahutan saat gigiku mengunyah. Popcorn itu renyah dan asin. "Sebenarnya, ketika kita bertengkar, aku merasa Ash adalah rumah baruku. Dia peduli padaku dan membiarkanku melakukan hal-hal yang kusenangi agar aku cepat pulih. Cara-caranya menghiburku juga membuatku senang dan nyaman. Aku juga tidak ingin hubungan kami renggang begini, tapi..."
Rum meletakkan wadah popcorn. "Tidak ada hubungan romantis yang tidak dilalui oleh kesalahpahaman. Aku yakin kalian akan baik-baik saja."
Tanganku mencomot lagi popcorn. "Terima kasih."
Rum tersenyum penuh sayang.
"Untuk popcorn-nya." Lanjutku. Tawa Rum spontan lepas. Kami tergelak bebas bersama ledakan anggun kembang api. Aku bersyukur. Rum dan aku sudah berteman bahkan sejak kami masih di dalam kandungan. Aku tak bisa membayangkan jika selamanya aku tak berbicara lagi dengannya. Sekarang, rasa takut itu hilang karena kami kembali tertawa bersama. Senang rasanya bisa kembali.
.
.
.Pic on header: https://pin.it/WpxAVJd
KAMU SEDANG MEMBACA
Semidevil
RomanceWilhelmina singkat saja dipanggil Will, sesingkat dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Baginya, jiwanya telah lama mati. Ia telah kehilangan motivasi, semangat, dan minat terhadap hal-hal yang ia sukai sebelumnya. Malam itu, Will sudah siap unt...