"July!"
July yang tengah berlari kecil di selasar berhenti, lalu berbalik. Kepang rambutnya mengayun bebas di punggungnya. Ia mengenakan seragam bertarung. "Ya?"
Aku berhenti menghampirinya sebelum berkata, "Apa kau lihat Ash?"
Gadis itu melirik lantai, lalu menggeleng. "Kenapa?"
"Aku ingin tahu, kenapa mentorku sekarang Sajda?"
"Oh, itu!" Entah kenapa, ekspresinya saat ini mirip dengan ekspresi Arbei saat ia memberiku banyak buku. "Aku juga tidak tahu, tapi Ash yang memutuskan. Dia sendiri yang minta izin pada Abel."
Aku terdiam. "Dia... minta diganti?"
"Aku tidak tahu jelasnya, Will. Dia memang sedang banyak tugas. Aku tidak ingin ikut campur. Ash memang selalu begitu. Segala hal tidak penting kecuali pekerjaan." Ia menjeda sejenak. "Apa kau kesulitan berlatih dengan Sajda?"
"Tidak," aku mengelak. "Tidak ada. Semua oke."
"Baguslah. Ash sangat pusing memikirkan siapa yang bisa menggantikannya. Matanya kelihatan hitam akhir-akhir ini. Seperti, dia punya banyak hal di skala atas prioritasnya tapi ada satu masalah yang menghambatnya. Sejak tiga hari ini, dia kelihatan lebih cerah."
Jelas sekali aku menangkap maksud July.
"Kalau tidak keberatan, aku duluan?" tanya July sopan. Aku segera mengangguk dengan senyum singkat pada July. Gadis itu berbalik dan meninggalkanku.
Aku adalah masalah itu, bukan? Masalah yang menghambatnya untuk melakukan 'banyak hal di skala atas prioritasnya'? Kehadiranku mengganggu pekerjaan Ash. Aku bukan prioritasnya. Ash sepertinya sudah lama merasa tersiksa karena harus terjebak denganku di markas sementara timnya di luar sana mengerjakan tugas-tugas penting dan... ia kini sudah tidak mampu lagi menahan diri. Ash tidak mau menemuiku lagi.
.
.
.
.
.Sajda Hanif tidak terlihat seperti teman-temannya yang serba serius, agak dingin dan praktis. Mukanya kelihatan cuek, tapi sebenarnya dia orang yang santai dan senang masa bodo. Kalau teman-temannya bergerak cekatan dan mengikuti prosedur, Sajda akan mencari jalan pintas agar bisa bergerak lebih santai. Ia kini tengah menggaruk lehernya dengan mata menyipit saat aku bilang aku harus bermeditasi lagi.
"Kau sudah terlatih, serius."
Aku mendengus geli. "Tapi itu hal terakhir yang Ash minta padaku."
"Dia itu cuma kehabisan bahan mengajar. Setelah kau menguasai auramu, kau akan dengan mudah mengakses hal-hal lain."
Alisku terangkat.
"Bakat kelainan." Sajda menyahut. Mulutku membuka secara otomatis. "Apa kau sudah tahu bakat kelainanmu?"
Aku menggeleng.
Ia berdiri, lalu meminggirkan loyang kue ke meja dapur. "Kalau begitu, kita cari tahu."
"Tunggu," cegahku saat Sajda sudah beberapa langkah melewatiku. Pemuda itu berbalik sambil berkedip bingung.
"Ash masih melarangku untuk mencari tahu soal itu."
Gelak singkat terlontar dari bibir Sajda. "Will, kita tidak akan melakukan upacara dan sebagainya. Aku hanya akan memberikanmu teori seperti yang aku pelajari waktu SD."
"Oh." Dua kali mengerjap, lalu, "Oke."
Sajda menelengkan sedikit kepalanya ke arah depan. Ia membawaku ke perpustakaan. Terakhir kali aku di sini, aku terkubur oleh belasan buku yang diserahkan Arbei padaku. Sampai sekarang belum ada separuhnya aku baca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semidevil
Любовные романыWilhelmina singkat saja dipanggil Will, sesingkat dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Baginya, jiwanya telah lama mati. Ia telah kehilangan motivasi, semangat, dan minat terhadap hal-hal yang ia sukai sebelumnya. Malam itu, Will sudah siap unt...