33. Atas Kepedihan yang Kau Limpahkan

4 1 0
                                    

Terima kasih, dunia, atas kepedihan yang kau limpahkan. Aku takkan menutup mata atas perbuatanmu.

Jika aku menulis kisah hidupku menjadi sebuah buku, akan kuawali kata pengantar dan bab pertamanya dengan dua kalimat itu. Lalu, akan kuakhiri buku tersebut dengan kalimat, "Kau sialan."

Aku menutup pintu kamar mandi, berjalan ke pancuran, mengabaikan pantulan di cermin. Semua kalimat yang berdengung di kepalaku membuatku tuli, sakit. Aku ingin melemparkan diri ke kolam hiu atau menghirup gas beracun. Akan tetapi, ide mengakhiri hidup itu terlalu rumit, dan kepalaku keburu pening, sehingga yang kulakukan adalah memutar keran pancuran. Air terjun dan memerciki lantai. Suaranya memijat telingaku, namun tak sedikitpun menjernihkan kekeruhan dalam dada dan kepalaku. Aku termenung. Punggung bersandar di dinding keramik. Pandangan kosong. Beginikah seharusnya hidup?

Mulut berkomat-kamit menyemburkan sumpah serapah. Caci maki dan mengalir tanpa suara. Hidup bejat! Teganya dunia bertindak begini? Aku telah menjadi anak yang sabar, penurut, pengertian dan menjaga sikap. Tapi lihat yang kudapat. Kenihilan! Ketiadaan harapan. Musnah sudah budi baik. Aku ingin mati, berkali-kali mengatakan ingin mati. Tapi jika aku mati, aku akan mati sia-sia. Karena mimpiku belum juga tercapai.

Dendamku kesumat pada semesta. Siapapun yang berkata, 'biarkan semesta bekerja untukmu' adalah tukang bohong! Kalimat itu cuma memotivasi pemalas untuk tetap malas dan menjadi hiburan semu bagi orang-orang yang susah cari makan sekalipun seharian mendulang timah. Orang yang hanya bekerja sedikit lalu meninggalkan sebagian besar kerjaannya dengan berdoa agar besok keajaiban tiba. Bajingan.

Aku ingin putus asa sebanyak aku bernapas.

Aku menyumpahi aliran air. Suaranya renyah dan damai tanpa terpengaruh emosi. Benar. Biar aku sajalah yang berantakan. Jangan biarkan air ini juga tersesat.

Mandiku berlangsung selama lima puluh menit. Lima belas menit pertama aku hanya diam berdiri di bawah pancuran air sambil mengumpat. Begitu keran ditutup, aku melangkah keluar dari pancuran dengan segaris senyum.

Kemarin Rum, sekarang Abel. Selanjutnya siapa? Oh, Tuhan, berhentilah menyalahkan aku di setiap kesempatan! Aku tidak salah apa-apa. Tidak! Tidakkah kalian pikir masalahnya bukan padaku, tapi pada kalian? Rum, kau hanya ingin aku hidup sesuai standarmu. Kau bahkan tidak mengerti aku, padahal aku sudah menceritakanmu semua hal dalam hidupku. Abel, oh, kalau kau pikir masalahnya ada padaku, kau salah! Kau tidak mau aku merebut Ash dari timmu, tapi bukan aku yang memaksa. Aku-tidak-pernah-memaksa. Jadi tolong jangan katakan apapun padaku. Sampaikan kemarahanmu pada Ash. Tinggalkan aku sendiri, demi apapun. Aku sudah lelah dirutuki orang-orang bagaimana caranya bersikap aku akan bersikap sesuai caraku sendiri. Titik.

Senyumku berubah jadi tawa. Sebelah tangan bersandar ke dinding, bibir terkembang sinis, lalu lagi tertawa. Tawa yang puas dan gila. Tawa pada cermin, dinding keramik, tetesan air di bahu, tetesan air di pelupuk. Aku menangis. Sedu-sedan tanpa suara. Air mata berlinangan. Pandangan buram. Dadaku sesak, naik-turun tak berirama. Kini, kejadian tadi rasanya sudah terjadi lima puluh tahun yang lalu.

.
.
.

Pic on header: https://pin.it/76jwLH1

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang