19. Sabtu Malam

8 2 0
                                    

Ash menjemputku pukul sembilan. Seluruh anggota markas berkumpul di taman belakang dan berpakaian lengkap: rompi hitam, sarung tangan kulit, sepatu lars. Senjata menempel di tubuh mereka.

Sepasang pedang katana melintangi punggung Abel. Sepasang trisula disangkutkan di kanan-kiri pinggang Arbei. Berbeda dengan pedang Abel yang kelihatan kokoh, trisula Arbei kelihatan rapuh. Senjata itu berkilau transparan, seolah terbuat dari kaca. Ujungnya sepipih ranting pohon. Arbei menyembunyikan senjatanya itu dalam sarung kulit hitam legam yang hampir kaku.

Ash dan Sajda punya jenis senjata yang sama. Kata Ash, namanya keris. Aku tidak tahu seperti apa bentuk keris Sajda, namun Ash menunjukkan padaku miliknya di bawah cahaya bulan. Senjata itu adalah belati yang panjangnya tidak lebih dari tiga puluh senti, meliuk-liuk bak badan ular. Ukiran mengalir dari pangkal hingga ujung. Senjata yang indah.

Ash mengangkat kerisnya ke langit kosong. Ia bilang, "Di dalam pahatan keris, kami menyembunyikan racun."

Inilah yang disebut cantik dan mematikan.

Ash menghujamkan kerisnya ke sarung kayu berwarna emas. Selama itu, aku tersenyum dan pandanganku mengikuti keris Ash. Mereka punya senjata yang sekaligus karya seni.

Busur dan anak panah bertengger siaga di punggung Sebas dan July. "Anak panah mereka,"-Ash berbisik lagi padaku- "juga beracun."

Keenam anggota Ultrakit melengkapi atribut mereka dengan pita kain tradisional di lengan kiri atas. Aku tahu kain apa itu, entah apa jenisnya tapi itu pasti batik.

Yang paling menarik perhatian adalah cincin mutiara di jari tengah kiri mereka. Batu mulia itu putih bersih, dipangku lingkaran cincin yang tak kalah putih. Ukiran yang tak kupahami memeluk permukaan luar cincin. Saat kutanya cincin apa itu, Ash menjawab, "Cincin nikah."

Aku melengos sementara dia tergelak. Akan tetapi, ia lalu menangkap kecemasan di wajahku. Ia bertanya lembut. "Kau gugup?"

Wajah kami sedekat daun dan rantingnya.

"Bagaimana jika aku gagal?"

Secercah tawa berembus lemah dari bibirnya. "Kau akan berhasil. Aku tidak sedang menghiburmu. Apa kau tahu mengapa kita melatih auramu?"

Aku menggeleng jujur dan pemuda itu semakin tersenyum. "Ketika nanti kau membuka auramu, emosimu akan ikut larut. Emosi dalam auramu itulah yang akan memancing para monster untuk mendekat, dan kita akan menangkap mereka. Jadi kau jangan khawatir, kita pasti berhasil. Kau hanya perlu fokus."

"Nah, oke, semua." Abel mengumpulkan kami yang sejak tadi sibuk memasang senjata. "Cuaca malam ini sesuai prediksi. Kita sudah berdiskusi tentang formasi dan tugas masing-masing, oke? July, begitu aura Will keluar, kau segera pasang segelnya."

July mengangguk mantap.

"Arbei." Mata Abel mencari Arbei. "Kau yang membentengi Sebas, jadi jangan menyerang terlalu jauh."

"Oke." Arbei menyahut riang.

"Dan Will?"

Semua mata tertuju padaku. Abel menatapku sungguh-sungguh. "Fokuslah pada dirimu sendiri. Sisanya serahkan pada kami."

Kepalaku terangguk sendiri.

"Oke. Kita sudah memantrai dan meracuni senjata kita. Sekarang, mari kita berdoa demi keberhasilan kita."

Semua orang menunduk khusyuk.

Abel memimpin jalan ke aula mini di bangunan utama. Ada sebuah pintu di sana yang berkamuflase dengan dinding belakang podium. Aku tidak tahu itu sebelum Abel menekan salah satu bagian dinding. Seketika, lantai di dekat dinding itu bergeser dan menampakkan tangga berputar di lorong gelap. Bibirku terbuka. Ini bagian lain markas yang belum pernah aku masuki. Kami menuruni tangga dengan hati-hati.

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang