Sesi kedua berjalan tidak jauh berbeda. Aku masih bisa sadar sampai akhir sesi. Sebuah kemajuan. Begitu July mengucapkan mantra pelepas, piramida pelindungku memudar. Abel menghampiriku sebelum aku ambruk ke tanah. "Kau tidak apa-apa?"
Aku mengangguk, lalu menggeleng saat kerongkonganku tertekan. Aku berlari menjauh dari Abel, lalu muntal di semak-semak. Kepalaku seperti habis dilepas dari bebatan ketat. July datang untuk memberi air. Ia memapahku ke mobil.
"Kau sudah berusaha dengan baik, Will." Abel menghiburku dari jok depan. Aku hanya tersenyum lemah. Abel mengulurkan bantal leher dari laci dasbor dan minyak angin. "Tidurlah sepanjang perjalanan."
Tidak ada yang membangunkanku sampai esok pagi. Aku terbangun sendiri dengan linglung. Memoriku me-restart, namun sepertinya aku mengalami sedikit amnesia. Kapan aku berjalan ke kamar?
Seseorang bahkan melepaskan sepatu dan jaketku, lalu menyelimutiku. Aku duduk di tepi kasur, menyugar rambut dan menggulungnya dalam satu jepitan. Ketika aku berdiri tegak, tubuhku terasa sangat ringan dan sehat. Tidur semalam benar-benar mengobati kelelahanku. Aku mandi, berganti baju, lalu keluar kamar.
Aku tidak menemukan siapa-siapa di dapur. Sudah hampir sebulan aku bolak-balik ke markas dan aku hanya pernah menghabiskan waktu dengan Ash. Sesekali Abel, tapi tidak pernah dengan yang lain. Aku sudah mulai akrab dengan suasana markas, cermin besar di kelokan menuju kamar-kamar, suara air mancur kolam renang, bahkan suara kulkas ditutup di dapur. Aku bahkan hapal di laci mana aku bisa menemukan cokelat panas instan dan lap kering.
"Apa kau merasa baikan?"
Itu Ash. Dari tangga batu, melantai di rooftop. Ash datang dengan kaus biru dongker dan celana training putih kusam. Ujung lengan kaosnya dilipat. Rambut hitamnya berjatuhan di dahi, basah. Ia menghampiriku yang sedang melamun ke langit kosong berawan tipis di ayunan. "Aku tidak ingat kapan aku ke kamar semalam."
"Memang tidak." Ash duduk di bangku rotan di samping ayunan. Aku menegakkan punggung, meliriknya dari balik kurungan ayunan.
"Semalam kau tidur seperti orang pingsan, jadi aku menggendongmu ke kamar."
Matahari membakar kedua pipiku.
"Rupanya Abel memberimu minyak angin obat bius, atau setidaknya itu menurutnya." Ia melirikku yang sedang melirik pot kaktus. "Maaf, kau tidak suka, ya?"
Oh, bukan, bukan. Tidak sama sekali. "Setidaknya, bangunkan aku lain kali."
Ash menggeleng. Ia lupa kalau menggeleng tidak menghasilkan suara, jadi aku beralih padanya. Matahari tepat di belakang kepala Ash. Silaunya menyipitkan mata.
"Apa kau begadang semalam? Matamu hitam."
Ash bersandar ke dinding dengan dua tangan di belakang kepala. "Semalam aku bermimpi buruk."
"Mimpi apa?" tanyaku.
"Mimpi ditanyai kapan nikah."
Aku mendengus. "Itu jelas mimpi buruk."
"Aku masih ingat jelas saat dikepung tante-tante."
"Aku sering bermimpi buruk."
Ash mencondongkan badannya padaku. Aku duduk bersila. "Sepertinya sudah hampir setahun. Mimpiku seringkali tidak enak. Terkadang, aku bahkan terbangun dengan kaget."
Pemuda itu menatapku serius sementara aku menopangkan dagu dengan sebelah tangan. "Aku terlalu tertekan sampai memengaruhi alam bawah sadarku. Pola tidurku berantakan, siklus biologisku bergeser dan aku tidak bisa tidur nyenyak saat malam hari namun di saat bersamaan butuh waktu tidur lebih banyak. Terkadang aku minum pil tidur."
Kemeja Ash berkibar-kibar diterpa angin. Rambut hitam ikalnya meliuk-liuk, namun air mukanya teguh mengamatiku. "Apa kau menjalani terapi?"
"Sejauh ini, ya. Aku menulis jurnal."
"Dan kau mengerjakannya?"
"Tentu."
"Bagus," tukasnya. "Kau harus cepat sembuh."
Aku memang ingin cepat sembuh.
"Terkadang aku mengalami hal ini: saat kita melangkah maju, tapi lalu ditarik mundur. Aku terus-terusan mengalami hal itu dan kelelahan."
"Setback."
"Ya. Rasanya, semua yang kulakukan tidak ada hasilnya."
Ash mengangguk cepat. "Kau masih berperang dengan egomu sendiri."
"Ya."
"Aku akan memberimu saran," celetuk Ash, "tapi nanti terserah kau mau mengikuti saranku atau tidak."
Aku menaikkan dagu pada Ash. Ia melanjutkan, "Seperti air dalam ember, setelah penuh, kau tidak bisa mengisi air lagi. Tetapi, jika dibiarkan, air dalam ember akan keruh. Kau tidak punya cara lain selain membuang airnya dan menggantinya dengan yang baru, air yang jernih dan bersih."
Aku menatapnya.
"Bayangkan hatimu adalah ember dan emosimu adalah air. Sekarang, embernya sudah penuh. Air di dalamnya sudah terlalu keruh. Buang saja, agar embermu kosong dan kau bisa mengisinya dengan air yang jernih."
Aku diam. Ash turun dari bangkunya, berlutut padaku. "Phoenix lahir dari abunya sendiri. Begitu ia tua, ia mati terbakar hingga menjadi abu, lalu terlahir kembali dari abu itu."
Tatapannya mantap saat berkata, "Jatuhlah, lalu melesat lebih tinggi."
Lima kata itu merasuki telingaku, memecah di dalam kepala dalam kepingan-kepingan kecil, lalu menggaung saat memantul. Untuk benar-benar bangkit menjadi sesuatu yang baru, aku harus membiarkan diriku jatuh. Aku sudah jatuh, namun tengah menahan diri di dinding jurang yang cadas dan licin. Tiap kali aku memanjat, aku kembali terperosok. Tiap kali aku kembali memanjat, aku terperosok lebih dalam. Aku tak meraih apa-apa kecuali tangan yang terluka. Maka, aku akan membiarkan diri ini jatuh hingga dasar hingga aku tak punya pilihan lain selain naik.
"Pesawat saja harus ditarik mundur dulu sebelum terbang." Itu sebuah analogi yang relevan.
"Jadi, menurutmu, aku harus biarkan diriku larut dalam emosi?"
Ash menggeleng. "Bukan larut, tapi kau melakukan sesuatu untuk membuangnya. Kau sudah menulis jurnal, itu bagus. Tapi kau merasa usahamu sia-sia. Aku bisa membantumu melakukan hal yang lebih eksrem. Kalau kau ingin membanting sesuatu, aku akan mencarikanmu sesuatu yang bisa kau banting. Kalau kau mau marah-marah, berteriak dan menyumpah, aku bisa membawamu ke tempat di mana tidak ada orang yang akan mendengarmu." Ia bertanya padaku. "Apa yang kau inginkan?"
"Aku selalu ingin melakukan bela diri."
"Aku bisa mengajarimu," ungkapnya mengejutkanku. "Olah raga memang terbukti menaikkan suasana hati. Aku akan mengajarimu gerakan dasar. Hanya saja, tanpa aura mungkin kau perlu belajar lebih keras."
Aura?
Serbuk peri baru saja dipercikkan di depan mataku. "Bantu aku menemukan bakat kelainanku."
Senyum Ash tertahan, memudar, lalu digantikan ekspresi bingung dan kaget. Aku juga kaget sendiri telah mengatakan ini. Akan tetapi, aku mengangguk lambat padanya. "Bantu aku menemukan bakat kelainanku. Itu permintaanku."
Ia bergeming cukup lama, cukup lama bagi seekor burung gereja melintasi langit di atas kami. "Kenapa?"
Sepasang bola mataku bergerak-gerak. "Depresi ini sudah sangat menekanku, dan sekarang aku dihadapkan pada rahasia keluargaku. Aku hampir tidak bisa mengenali diriku sendiri. Aku pikir, dengan mempelajari bakat kelainan, aku bisa mengerti siapa diriku dan apa kemauanku. Itu bisa membantu."
Ash takkan setuju. Dari raut wajahnya, ini bukan ide baik.
"Baiklah."
Aku terperanjat. "Sungguh?"
Bibirnya melengkung sempurna. "Aku sudah berjanji padamu. Apapun yang kau inginkan akan kukabulkan."
Itu kalimat yang manis. Aku ikut tersenyum bersamanya. Ash memalingkan pandangan. Panas matahari telah memerahkan pipi kami.
.
.
.Pic on header: https://pin.it/2iroVeC
KAMU SEDANG MEMBACA
Semidevil
Roman d'amourWilhelmina singkat saja dipanggil Will, sesingkat dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Baginya, jiwanya telah lama mati. Ia telah kehilangan motivasi, semangat, dan minat terhadap hal-hal yang ia sukai sebelumnya. Malam itu, Will sudah siap unt...