Rum tak pernah meminta nomor Ash pada Will, namun ia tinggal di gedung yang sama dengan Will dan ia berteman dekat dengan pegawai resepsionis. Hari ketika Rum bertemu Ash adalah hari Rabu. Pemuda itu baru saja keluar dari lift saat Rum mencegat jalannya di lobi. Ash menyapa Rum dengan senyum ramah dan anggukan kecil. "Rumana."
Rum menjawab, "Selamat pagi."
Gigi Ash berderet manis selagi ia balas mengucapkan selamat pagi, tetapi Rum melanjutkan dengan datar, "Aneh sekali melihat fakta bahwa kau sudah sering bolak-balik ke sini, tapi hanya namamu yang kutahu tentangmu, padahal kau adalah pacar sahabatku."
Dahi Ash berkerut heran. "Maafkan aku, sepertinya aku sudah bertindak kurang sopan. Harusnya aku menyapamu dari sebelumnya. Mungkin kita-"
"Perlu bicara." Rum memotong. Kedua alisnya diangkat. "Bagaimana? Kau punya waktu sekarang?"
"Aku..."
Rum merapatkan kardigannya. "Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Dan aku tidak bisa menunggu."
Tatapan Ash berubah serius padanya. Rum tersenyum kaku. "Jadi, kita jalan?"
Dan benarlah jika pegawai kafe yang menjual croissant dan beragam kopi itu terheran-heran dengan dua pelanggan pertamanya, karena dia baru saja membalik tanda 'tutup' menjadi 'buka' saat seorang gadis dengan cardigan abu-abu dan rok midi berwarna senada masuk. Lonceng di atas pintu mengiringi kehadirannya. Seorang pemuda jangkung menawan mengikutinya. Pegawai kafe itu mengernyit dari balik meja kasir. Siapa yang mau ke kafe pagi-pagi begini?
Meskipun begitu, dia tetap melayani pesanan keduanya: satu espresso 2 shots dan satu caramel latte.
"Jadi, Asheraf Aden?" Rum mengulang nama lengkap Ash. Pemuda di depannya mengerjap sopan. Sebelah kaki mereka sama-sama terlipat. Punggung mereka sama-sama bersandar pada kursi. Mata mereka sama-sama menatap satu sama lain. "Biar kuurutkan. Aku tahu kau berkencan dengan Will sudah tiga bulan lebih. Kita juga sudah pernah berkenalan secara resmi. Aku sangat senang melihatmu dengan Will. Kau kelihatan tampan, sopan, dan mapan. Aku sangat senang untuk Will."
Ash mengangguk-angguk mendengar pujian Rum. Ia berusaha menyembunyikan senyumnya.
"Tetapi, jujur saja, aku tidak bisa menyangkal bahwa aku khawatir akan hubungan kalian. Kau datang di saat yang tidak tepat-kalian sering menghabiskan waktu bersama, Will sudah cerita soal kondisi mental dan pekerjaannya, kan?" Ash bergumam 'ya' dan Rum mengangguk. "Aku tidak bisa menyingkirkan perasaan tidak enakku terhadapmu."
"Aku mengerti," pungkas Ash. "Kau menyayangi Will sebagai temannya. Wajar kalau kau merasa waspada terhadapku."
"Benar." Rum memvalidasi. "Kau membawa Will ke mana-mana. Itu bagus untuk mendistraksi pikirannya. Aku berterima kasih padamu telah menjaga Will di saat aku sibuk."
"Jangan berterima kasih," ucap Ash dengan amat sopan. Ia hendak meminum kopinya setelah melihat kepulan asap di permukaan kopinya sudah hilang. Rum namun kemudian berkata, "Tetapi, aku melihat perubahan yang salah pada Will."
Ash urung menyentuh cangkirnya.
Rumana Prince menegakkan punggungnya. Kardigannya ditarik lebih rapat. Meskipun matahari bersinar hangat, ekspresinya terlihat dingin."Dia gadis yang lemah lembut di balik penampilannya yang cuek. Will tidak akan berteriak, marah-marah, apalagi melempar barang hanya karena dia kesulitan membuka tutup botol. Tetapi, itu yang terjadi padanya sekarang." Pupil mata Rum terangkat seperti sebilah pedang siap menebas.
Tanpa Rum melanjutkan, Ash tahu Rum melayangkan sebuah tuduhan. "Rum, sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan?"
Selama tiga detik pertama, Rum hanya menatap Ash seolah ia lukisan tua yang telah lama ia hancurkan, namun kini ia lihat di pameran museum. "Aku bingung denganmu. Pasti ada yang disembunyikan oleh Will. Kau sudah memperkenalkan Will pada keluargamu, ulang tahun nenekmu, kalau aku tidak salah ingat. Tapi, Will sama sekali belum memperkenalkanmu. Ibunya sampai datang padaku dan bertanya. Aku tidak bisa tidak menjelaskan kau siapa. Maksudku, kalau kau pria baik-baik, kenapa Will belum bicara jujur soal dirimu?"
"Mungkin Will belum siap. Aku yang pertama baginya, bukan? Aku tidak keberatan. Aku akan menunggu sampai dia siap."
"Dan dia marah karena aku telah bercerita pada ibunya." Rum seperti tidak mendengar omongan Ash. "Dia marah seperti aku baru saja mengungkapkan rencana pelarian dirinya, atau taruhan illegal yang melibatkan seisi tabungannya. Padahal ini kau, bukan barang illegal. Kau... bukan illegal, kan?"
Asheraf Aden mendengus terbata-bata. "Rum, apa yang kau katakan?"
"Dia menjauh dariku, berteriak padaku, dia bersembunyi dari ibunya, dan dia selalu bersamamu."
"Kau menuduhku telah menghasutnya."
Napas Rum diembus bak banteng siap menyeruduk. "Will bilang aku satu-satunya yang tahu kondisinya, tapi kurasa tidak lagi."
Matahari makin naik. Bayangan sofa dan meja di lantai naik dua inci. Kopi mereka telah dingin, namun percakapan mereka justru menggelegak.
"Aku yang tidak mengerti. Kau tidak bisa menyalahkanku karena pertengkaranmu dengan Will. Kau tidak bisa menyelesaikan masalahmu dan kau tidak mau mengakui dirimu salah. Kau lalu menyalahkanku, menuduhku sebagai penyebabnya. Nyatanya, kau hanya tidak kompeten dan takut untuk menghadapi masalahmu sendiri."
"Jangan macam-macam."
"Kau yang jangan macam-macam. Kau sudah menyeretku ke sini untuk mendengarkan ocehanmu tanpa aku mengerti penyebabnya apa. Sekarang, aku tahu, kau hanya ingin melampiaskan kemarahanmu dan kebetulan kau melihatku sebagai penyebab yang membawa Will pergi darimu. Jika Will ingin pergi, dia akan pergi. Dia berhak untuk memutuskan sendiri."
"Aku tidak menyukaimu."
Bahu Ash terangkat. "Aku sudah menduga."
Sudut bibir Rum terangkat sebelah. "Apa Will tahu juga? Kau tidak menyukainya?"
Senyum Ash pudar. Ia lurus menatap Rumana. Gadis itu bergeming. Batu karang terlihat lebih lunak daripada air mukanya.
"Jangan mengelak. Jangan mengatakan kau jatuh cinta padanya. Kau memberinya tatapan yang sama padaku, bahkan pada pelayan itu." Rum mengedikkan kepala pada pegawai perempuan di balik mesin kopi. "Kau hanya menambahkan sedikit binar di matamu."
Ash mendengus. "Kau-"
"Apa tujuanmu pada Will?"
Ash baru membuka mulut saat Rum memotong lagi. "Aku tidak percaya padamu." Pelan dan tajam.
"Aku ingin kau pergi. Aku dan ibunya Will adalah orang terdekat Will, dan kami tidak mengenalmu. Kalau kau memanfaatkan kepolosan hati Will untuk tujuan pribadimu, sebaiknya kau berhenti. Atau aku yang akan menghentikanmu. Kau tidak tahu aku, tidak tahu cara-cara yang bisa kulakukan. Aku dan Will sangat saling mengenal."
"Kau suka memotong kalimat orang."
"Karena omongan orang sepertimu tidak bisa kupercaya." Rumana Prince bangkit, "Aku ingin kau pergi," lalu pergi tanpa menyesap sedikitpun caramel latte-nya.
.
.
.Pic on header: https://pin.it/69LiGRW
KAMU SEDANG MEMBACA
Semidevil
RomanceWilhelmina singkat saja dipanggil Will, sesingkat dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Baginya, jiwanya telah lama mati. Ia telah kehilangan motivasi, semangat, dan minat terhadap hal-hal yang ia sukai sebelumnya. Malam itu, Will sudah siap unt...