22. Bulan Takkan Peduli

9 3 0
                                    

Selama aku menjadi anak mereka, tak pernah sekalipun aku tak menahan diri. Aku tumbuh menjadi anak yang serba tak enakan, serba sungkan, sekalipun itu untuk kebutuhan dasarku sendiri. Aku tak membeli pakaian mahal di mall karena membeli di online shop lebih murah. Aku takut-takut menunjukkan jaket mahal dan pajangan unik karena label harganya. Meskipun akhirnya dibelikan, dalam diriku tumbuh perasaan bahwa itu menjadi hutang. Yang harus kubayar dengan jasa, bakti dan penghasilan. Aku memilih menu biasa di restoran agar tagihan kami tidak membengkak. Aku menginginkan sesuatu tapi urung memintanya. Aku justru menabung dari uang sakuku yang tidak seberapa. Aku menahan diri dengan prinsip 'tidak ingin membebani orang tua'. Nyatanya, aku hanya menyiksa diri.

Semua yang datang dari orang tuaku menjadi hutang. Aku mengemban tanggung jawabku, karena hutang. Aku memenuhi keinginan orang tuaku, karena hutang. Aku memilih karir yang ibuku dulu cita-citakan karena aku menganggap aku bertanggung jawab untuk meneruskan cita-cita itu. Aku kembali memikirkan aku harus belajar dan mengabdi untuk usaha keluarga karena itu hutang. Kehidupan ini, yang bahkan aku tak memintanya, adalah hutang. Tinggal di rumah ini adalah ngontrak. Tagihannya harus dibayar kelak. Aku harus bersyukur atas kehidupan yang kuterima-seolah aku yang memohon pada awalnya.

Setelah kupikir-pikir, setelah sekian lama aku berpikir aku adalah makhluk egois, aku sama sekali tak egois. Aku selalu berpikir bagaimana caranya mengurangi pengeluaranku. Aku mendahulukan karir yang dicita-citakan orang tuaku berlandaskan bakti. Di saat aku menyerah setelah menyadari bahwa karir itu bukan duniaku, tidak ada belas ampun bagiku untuk memulai kembali. Aku tersiksa untuk menyelesaikannya.

Ternyata selama ini aku salah. Aku sudah mementingkan orang lain di atas kepentingan diriku sendiri, mengabaikan diriku, apa yang kurasakan dan apa yang kuinginkan. Tidak ada balasannya setelah itu. Orang-orang menuntut sesuatu dariku dan aku begitu patuh untuk memenuhi permintaan mereka. Namun, ketika waktu berlalu dan tugasku untuk mereka selesai, apa yang kudapatkan? Giliran aku yang meminta bantuan dari mereka, tidak ada yang bersedia. Mereka memintaku untuk melakukannya sendiri. Betapa aku telah menyia-nyiakan diriku dan betapa aku telah disia-siakan. Sakit hati? Ya. Tapi apa yang bisa kulakukan? Waktu telah berjalan dan cuma pelajaran yang tersisa. Kuputuskan untuk berhenti mematuhi perintah orang lain sebelum perintah dari diriku sendiri. Karena aku sudah lelah, dan tidak ada yang tersisa. Untukku, kehidupan tidak membaik dengan menjadi terlalu penurut. Dan di saat aku butuh dukungan, tidak ada yang hadir. Jatuh sendirian ke kegelapan. Tak heran aku ingin mati.

Setelah aku melihat barang-barang bermerek milik keluargaku, menu makanan mahal yang mereka pilih, paket belanja online yang terus berdatangan, aku merasa aku telah merugi. Aku merasa telah dibodohi dengan slogan 'berbakti dan meringankan beban orang tua'. Untuk apa selama ini aku menahan diri? Kalau begini jadinya, harusnya kubiarkan saja hasrat belanjaku terbang bebas. Aku telah memiskinkan diriku sendirian.
Setelah kusimpulkan, aku tak pernah berhutang apapun. Aku tak berhutang baju, tak berhutang sekolah, makanan, bahkan rumah tinggal. Bukan aku yang memutuskan untuk hidup, tapi mereka. Aku lahir ke dunia ini atas kemauan mereka.

Mengapa mereka membuatku bekerja sesuai kemauan mereka? Belajar sesuai kemauan mereka? Memilih sesuai yang mereka pilih sementara aku berhak atas kemauanku sendiri. Aku berhak untuk bertindak atas kesadaranku sendiri. Apakah karena aku adalah anak?

Aku seorang manusia yang punya kebebasan. Aku berdaulat atas diriku sendiri. Aku berhak memilih, berhak memutuskan, dan tidak berhutang apapun atas apa yang tidak kuminta. Aku milik diri sendiri.

Hubungan anak dan orang tua tidak sama dengan hubungan bos dan pegawai. Ada kasih sayang di dalamnya, keikhlasan untuk memberi. Hubungan yang mengatur kasih sayang dan tanggung jawab di antara kedua pihak, bukannya mengartikan hidup salah satu milik lainnya. Dalam hal ini, hubungan yang terjadi bersifat horisontal, yang mana anak dan orang tua punya kedudukan yang sejajar. Anak seharusnya lahir atas dasar keinginan murni kedua orang tuanya untuk melihat dan membesarkan anak masa depan mereka, bukan karena desakan mertua apalagi omongan tetangga.

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang