27. Bukit Rahasia

9 2 0
                                    

"Ash?"

Aku mendongak pada Ash yang sedang duduk di genteng bangunan utama markas. Matahari Santorini selalu membuatku silau. Aku mengangkat sebelah tangan untuk menaungi mataku. "Kau sedang apa di situ?"

Pemuda itu mengerling dan menjawab asal, "Mengecek ketahanan genteng?"

"Turunlah." Aku mengibaskan tangan. Ia turun dengan satu lompatan anggun.

"Kau ke mana saja? Kami mencarimu sejak tadi," protesku sembari berjalan ke pintu taman.

"Gereja." Aku menoleh cepat padanya dengan kening berkerut. "Kau habis berdoa?"

"Bisa jadi," jawab Ash asal. Wajahku menampakkan ekspresi heran. "Kau tidak apa-apa, kan? Mau kupanggilkan Sebas?"

"Tidak perlu, Wilhelmina. Aku akan mendatangi Sebas sendiri." Ia menyelipkan sebuah buku kecil ke saku belakang jeans-nya, lalu menepis debu di pahanya. "Omong-omong, kenapa kalian mencariku?"

"Apa kau lupa? Kita disuruh cari lemari baru untuk menyimpan arsip. Lemari yang lama mau dipakai untuk menyimpan koleksi action figure kalian."

"Sangat ingat," jawabnya sambil menjentikkan jari. Ia lalu mengernyit sambil berhenti di depanku. "Kenapa kau kelihatan pucat?"

"Oh, sungguh?" Tanganku sibuk menyibakkan rambut yang sebenarnya tak perlu. Ash mengangguk. "Kau sakit?"

Aku menggeleng sambil mengerjap lambat. "Aku hanya susah tidur semalam."

"Baiklah. Kau bisa tidur selama di mobil."

Kurang tidur membuat tubuhku agak bergetar dan pikiranku kurang fokus. Ash membuat acara jalan-jalan cari lemari ini jadi lebih cepat karena ia cekatan membuat keputusan. Kami selesai membeli lemari di kota Fira setelah empat puluh lima menit melihat-lihat. Lemarinya diantar besok oleh pihak toko. Selama perjalanan pulang, aku tertidur.

Begitu terbangun, aku tersadar bahwa kami tidak melalui jalan yang sama saat kami berangkat. Ash di sampingku sedang menyetir. Jendela di sampingnya diturunkan dan rambutnya berlarian ditiup angin. Sebelah lengannya ditopang di jendela. Aku menegakkan punggung.

"Ash!" Ash menoleh singkat. "Di mana kita?"

"Di jalan?" jawabnya. Aku tersenyum lelah. "Ke mana kita?"

"Ke bukit rahasiaku."

Aku mengernyit. "Bukit apa?"

"Bukit rahasia. Aku menemukan wilayah itu dan mendatanginya untuk menyendiri. Pemandangan di sana luar biasa. Kau akan suka."

Ash berbelok ke jalur kecil nan berkerikil. Mobil jip yang kami tumpangi bergejolak. Aku memegangi sabuk pengaman. Ash terus memacu mobil di jalan itu meski jalannya makin sempit dan bergelombang. Pepohonan rimbun kini mulai menyesaki jalan.

Ranting-ranting menabrak sisi mobil. Ash lalu menancap gas saat menaiki tanjakan yang memutar. Mobil makin berguncang, tapi ia tidak menurunkan kecepatan. Aku mengamatinya. Pemuda ini selalu nekat jika sedang berkendara. Aku curiga pada lisensi mengemudinya.

Mobil melompat sekali dan aku terbang seinci dari jok, tepat saat mobil keluar dari jajaran pohon dan semak. Jantungku rasanya mau copot. Aku menoleh tajam padanya, ingin menembakkan laser panas kalau bisa. Lalu, sebelum aku bisa memprotes, Ash menghentikan mobil. Ia balas menoleh padaku dengan riang dan mendekat untuk melepas kaitan sabuk pengamanku, lalu keluar mobil.

Kekesalanku hilang bagai debu ditiup angin.

Aku mengikuti Ash ke luar. Kami berdiri di tengah lapangan sepetak berkarpet rumput hijau. Sepuluh meter dari tempat kami berdiri, tanah melandai dan menghilang di balik pepohonan tua. Suasana yang tenang, damai, asri. Kikik serangga dan dekuk burung-burung kecil mengamini. Ranting-ranting bergoyang riang.

"Aku tahu ini minggu-minggu yang berat bagimu." Ash berkata. "Jadi, aku mengajakmu ke sini untuk melepas penat."

Seperti kebiasaanku di tempat baru, aku selalu celingukan. Mulutku siap bertanya ini di mana tapi Ash lebih dulu menjawab, "Bukit rahasia. Hanya aku yang ke sini, setidaknya, setahuku. Aku ingin membagi tempat ini denganmu."

Aku mengerjap, ingin merasa tersanjung, tetapi, "Tanah ini milik seseorang." Aku menunjuk patok tanah tanda kepemilikan nun jauh di dekat pepohonan. Ash ikut mengamati. "Yah, siapa pun pemiliknya, tapi aku yang memasang patok itu."

"Apa?"

Ash terkekeh. Bahunya berguncang dan ia berjalan menjauh. Aku menyusulnya. "Itu tindakan illegal! Kau bisa dituntut kalau ketahuan."

"Tenang saja." Ash berhenti berjalan. "Aku akan membelinya."

Sepertinya uang bukan masalah baginya.

"Sebaiknya kau cepat melakukan itu."

Ash nyengir lebar padaku, lalu pandangannya menyapu ke depan. "Bukankah di sini indah?"

Aku berputar dan mengedarkan pandang. Semua sisi Santorini ditempatkan dalam satu bingkai di sini. Ash benar, pemandangannya luar biasa hingga tanpa sadar mengundang senyumku. "Sangat cantik."

"Sangat."

Aku melirik Ash. Kami saling terpaku selama sedetik. Ash lalu menghirup udara dalam-dalam. "Kau tahu, Will, berteriak telah menjadi cara lama manusia untuk melepas emosi. Kau pernah mencobanya?"

"Apa kau datang ke sini hanya untuk berteriak?"

Ash menggeleng sambil tersenyum. "Aku hanya duduk di sini dan melamun."

"Kalau begitu, kita harus mencobanya bersama."

Senyum Ash makin terkembang. Ia menyingsingkan lengan kemejanya. Ash menarik napas dalam-dalam, lalu berteriak, kencang sekali. Aku terpana, lalu tertawa lepas. Pemuda itu berkacak pinggang. "Cobalah."

"Apa kau yakin tidak ada yang mendengar?" Mataku mengedarkan pandangan. Ash menggeleng hebat. "Aku jamin."

Ia berteriak lagi pada langit. Kali ini, aku mengikutinya. Dengan sekuat tenaga, kuisi penuh paru-paruku dengan oksigen bagai seorang penyelam yang bersiap-siap, lalu mengembuskannya bersama dengan teriakan panjang. Ash tertawa lepas. Ia mundur, memberiku ruang sendirian.

Aku kembali berteriak, kali ini disertai jeritan. Tanganku mengepal dan mataku mengerut. Di sela-sela jeritanku, Ash berceloteh, "Jangan ragu-ragu, Nona."

Maka, aku menjerit sekencang mungkin, berjingkrak-jingkrak, menunjuk liar ke langit kosong dan mengalirkan sumpah serapah. Beragam cacian yang kukenal lepas bebas dari mulutku, diselingi teriakan dan jeritan frustasi. Aku menendang-nendang rumput, mengumpat ke akar, mengutuki debu, awan, karbondioksida, remahan daun kering. Semua itu lalu diakhiri dengan rentetan uneg-uneg yang selama ini melandaku. Kukira aku akan menangis, nyatanya aku tersenyum lega. Aku sigap berbalik pada Ash. Pemuda itu tengah duduk dengan lutut tertekuk di rumput. Mukanya syok sekaligus ngeri. Sepertinya, aku telah membuatnya terguncang.

"Tadi itu... cukup radikal."

Aku tergelak lepas. Kepalaku mendongak, lalu aku melepaskan tawa lagi, lalu tersungkur ke rumput. Ash ikut tertawa tanpa ragu. Kami tertawa bersama untuk kekonyolan ini. Untuk semua kenyataan pahit yang tadi kuutarakan pada alam.

"Aku senang kau membawaku ke sini," ucapku sambil duduk di sisinya. "Terima kasih."

Ash menyentuh jemariku yang berbaring di rumput, lalu pelan-pelan menggenggamnya. "Kau tahu aku akan melakukan apapun untukmu."

Langit mulai kemerahan. Mata kami saling mengunci. Lalu, Ash menunduk. Sebelah tangannya yang lain mengusap pipiku. Napasku melambat namun jantungku berdegup kencang. Ash menciumku. Ciumannya mendarat lembut di bibirku. Sesaat, ia tertahan seolah menunggu izinku. Lalu, begitu aku mengalungkan lenganku di lehernya, ia merangkul punggungku dan bibirnya bergerak cepat.

Sesuatu merasukiku. Aku tak ingin menyudahinya. Ash mengeratkan pelukannya. Sebelah tangan Ash menangkup daguku dan kami semakin melebur. Ia melepaskanku tepat sebelum aku kehabisan napas. Wajahnya merah padam dan pandangannya tak fokus. Mungkin, begitu juga aku. Ash mendekat lagi, menciumku beberapa kali sebelum benar-benar menghentikannya. Dahi dan hidung kami saling bersentuhan. Bibir kami saling melempar senyum. Puncak pohon bergemerisik malu-malu.

.
.
.

Pic on header: https://pin.it/3WUjnA6

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang