"Kapan kau kembali kemarin?"
Berkas sinar yang menembus dedaunan dan ranting menyilaukan mataku. Aku mengangkat tangan.
Rum, sahabatku, menjawab malas, "Lewat tengah malam. Aku sangat lelah."
Rum mengibaskan gaun putih sebetisnya dari debu, lalu sedikit menyingkir saat seorang pria muda meminta jalan. "Kau tahu Dany. Dia tidak berubah, belum. Sesampainya di rumah, dia masih meneleponku. Lima hari mengurus acara dan aku masih diteror soal laporan saat tengah malam. Aku bisa gila kalau kerja rodi terus kayak gini."
Aku terbahak lepas. "Ada baiknya aku pensiun."
Rum tidak tertawa, hanya melempar senyum separuh mengiyakan separuh prihatin.
Kami baru saja pulang dari gereja. Waktu menunjukkan pukul sebelas lebih dua puluh menit saat kami menyeberangi jalan. Aku memasukkan ponselku ke tas setelah melihat jam, namun tergoda sedikit saat pesan dari Ash muncul.
Rum melirik ke ponselku, lalu berdehem mengejek. Aku memasukkan ponsel ke tas. Mata Rum menyipit dan bibirnya tersenyum jahil. Ia menggamit lenganku. "Ada yang sedang kasmaran di sini."
Aku manyun mendengar ejekan Rum, tapi gadis itu malah tertawa puas. Kami berjalan di trotoar Washington Street menuju restoran makan siang kami. Rum tersenyum riang di sebelahku sambil menceritakan pengalamannya selama empat hari di Rumania. Ia bilang, ia terkejut dengan betapa memesonanya negara itu. "Aku rasa, aku diciptakan untuk Rumania. Rum dari Rumania."
Aku mendengarkan cerita Rum dengan bersemangat. Sesekali ikut membayangkan. Rum adalah jelmaan bidadari dalam balutan gaun putih sebetis dan blazer tweed warna merah muda pastel. Kerah blazer itu ditautkan pada satu kancing mutiara di pangkal leher. Pergelangan tangan Rum berkilauan karena sepasang gelang perak. Harum mawar Bulgaria semerbak dari tubuhnya. Seseorang di jalanan ini pasti telah memujinya diam-diam.
Ukuran tubuh kami memang kelihatan sama, tapi aku mengenakan celana kulot lebar berwarna putih dan atasan blus polos berbahan kaku dengan lengan balon. Rum mengenakan heels, aku memilih sandal platform. Rambut Rum ditata rapi menyerupai mawar mekar, rambutku dijepit biasa. Jika Rum mengenakan cincin-cincin di jari kurusnya, aku membelit pergelangan tanganku dengan jam tangan kayu. Setidaknya, jam tangan kayu ini menaikkan kepercayaan diriku, sedikit.
Begitulah. Jika Rum memancarkan cahaya, aku dinaungi bayangan.
"Jadi, akhirnya kau beli apa?" Rum mengintip ke tas kertas hitamku saat ia mendorong pintu kaca restoran. Pramusaji membungkuk pada kami sambil menunjukkan meja kosong. Aku berjalan di belakang sambil menjawab, "Sandal."
Rum mengangguk-angguk. Seminggu yang lalu, tepat sebelum Rum pergi ke Rumania dan aku ke Santorini, ibu mengirim pesan singkat. Isinya, ayah akan mengadakan pesta ulang tahun hari ini. Rum diajak, tentu. Sahabatku itu langsung membeli kado lilin aromaterapi.
Meski hari ini adalah hari ulang tahun ayah, aku tidak merasa bersemangat atau apalah. Malah enggan datang. Seharusnya—atau demi kebaikan bersama—Rum saja yang datang. Rum saja yang jadi putri mereka. Aku sama sekali tidak tertarik untuk datang. Hadiah yang kubeli bahkan hasil saran Rum. Jika Rum tidak ikut, aku akan senang beralibi untuk batal datang. Tapi Rum ikut, jadi aku datang.
Cuaca agak mendung hari ini, padahal kemarin cerah ceria. Kami sedang menghabiskan separuh sisa piring kami saat ponsel Rum bergetar. Ia menarik ponselnya, lalu mengangkat telepon. Setelah kata 'halo', wajah Rum berangsur-angsur memutih. Awalnya, aku tidak memperhatikan, namun Rum diam saja di ponselnya dengan wajah tegang. Aku ikutan tegang, menunggunya menutup telepon untuk bertanya, "Ada apa?"
Rum tidak membalas. Ia mengangkat muka. Wajahnya dilanda kecemasan. "Jo masuk rumah sakit."
Jo adalah adik Rum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semidevil
RomansWilhelmina singkat saja dipanggil Will, sesingkat dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Baginya, jiwanya telah lama mati. Ia telah kehilangan motivasi, semangat, dan minat terhadap hal-hal yang ia sukai sebelumnya. Malam itu, Will sudah siap unt...