15. Entahlah

13 5 0
                                    

Begitulah ceritanya sampai aku hanya menghabiskan kurang dari dua jam di rumah orang tuaku, lebih nyaman menyendiri di bus, bersama sekelompok orang asing.

Di luar jendela bus, langit tumpah ruah. Tetes-tetes bening bergelinciran. Sebagian tersesat di pipi dan daguku.

Rum menelepon, namun aku sedang tidak ingin mengangkat telepon dari siapapun. Tidak ingin bicara dengan siapapun. Aku tak ingin mendengar. Tak ingin berpikir. Tak ingin menjelaskan. Karena, apapun yang kujelaskan selalu dibantah. Aku juga tak punya apa-apa untuk ditunjukkan. Karena, apapun yang kutunjukkan tak pernah diapresiasi. Tidak ada hadiah, sekalipun pujian. Semua hanya ditanggapi dengan 'oh'. Itu hal biasa, terjadi seratus kali dalam minggu ini. Terjadi seperti sudah seharusnya terjadi. Terjadi seperti itu bagian dari tanggung jawabku, kewajiban, bukan hal langka nan spektakuler yang tidak kau sangka bakat itu ada pada anakmu.

Tidak ada motivasi. Aku kehilangan motivasi, atau memang tidak punya. Aku tidak tahu bedanya. Gelak tawa timbul di sela-sela isakan teredam. Jika memikirkan itu, aku bahkan tidak diapresiasi saat bekerja sesuai keinginan mereka. Tidak pernah berpikir anaknya tidak menginginkan itu. Tidak pernah menanyakan perasaanku. Aku bahkan ragu apa mereka pernah penasaran.

Air mata terus mengalir dari pelupuk. Aku merogoh ke dalam tas untuk mencari tisu.

Tidak ada tisu di tasku.

Aku meraup ujung blusku, tidak lagi peduli jika separuh bagian depan blusku seperti tersiram air. Tidak peduli pada tatapan ingin tahu orang-orang yang tengah berdiri di bus. Tidak peduli. Aku tidak peduli.

Ada pesan dari Ash:

'Will, kau dimana? Apa kau di apartemenmu?'

Aku membalas cepat dengan sisa isakan:

'Sedang pulang'

Ash balik membalas:

'Oh, kau sedang di luar?'

Pesannya sudah kubaca, tapi aku enggan membalas. Ia kembali mengetik:

'Kalau kau sudah dekat, mau makan malam bersamaku?'

Entahlah, Ash. Aku sedang ingin sendiri.

'Maaf Ash, aku masih jauh. Aku juga habis makan. Lain kali, ya.'

Begitu balasanku. Ash menutup percakapan tak lama:

'Tidak apa. Hati-hati di jalan, ya. Sampai jumpa hari Selasa!'

Bus berhenti tepat di seberang gang apartemenku. Aku berjalan lunglai meninggalkan trotoar, masuk lift dan bersandar di permukaan dinding aluminium yang dingin dan keras, lalu melangkah gontai di karpet cokelat pudar. Langkahku terhenti. Tepat di depan pintu kamarku, seseorang berdiri sambil menyangkutkan kantong plastik bening di gagang pintu. Sosok yang kukenal.

Punggungnya terlihat bidang dibalut sweter biru pucat. Kaki jenjang dan kurusnya tenggelam di dalam celana katun krem. Ia memakai sandal mules warna senada. Rahangnya terbentuk tegas dari sisi kanan, dinaungi sejumput hitam ikal rambut. Ia berbalik, lalu terkejut melihatku. "Will?"

Dari sisi lengannya, aku bisa mengintip dua kotak karton putih ditumpuk di kantong bening. Sendok-garpu plastik setengah mencuat dari balik tisu. Napasku tercekat. Ash maju.

"Aku terlanjur beli makanan sebelum mengirim pesan. Tapi, karena kau bilang sudah makan malam, aku menitipkan ini di sini."

Ia menangkap ekspresiku yang hampir meledak. Sinar matanya berubah cemas. "Ada apa? Terjadi sesuatu di jalan?"

Lalu aku mendengar sendiri tangisanku.

Pemuda itu mendekatiku, mengusap-usap punggungku, lalu membimbingku masuk. Ia menuntunku untuk duduk di ruang santai. Ash tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengelus punggungku. Aku sendiri hanya berderai air mata. Bagian kecil hatiku ingin mengungkapkan semua beban batin pada Ash, namun otakku membantah keras. Kau mau membuka dirimu di hadapan pria asing?

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang