2. Jaket Itu Nyata

92 15 2
                                    

Kejadian malam itu melekat jelas di benakku, sejelas aku melihat magnet berbentuk kucing di pintu kulkasku. Malam yang senyap diganggu oleh kehadiran sosok misterius yang menggagalkanku untuk mati. Siapa dia dan mengapa dia di sana? Bagaimana dia menghilang? Apa dia hanya sebuah ilusi?

Tidak ada yang menjawab selain bunyi bel. Seseorang datang berkunjung. Aku tahu itu siapa. Bunyi bel elektrik kembali menggema tak sabar saat aku melangkah menuju pintu. Bergema lagi sesaat sebelum aku memutar kenop. Seraut wajah khawatir menyambutku. "Will, kau tidak apa-apa?"

Rum.

Itu Rumana Prince, tetanggaku, rekan kerjaku, sahabatku, ibu periku. Ia memaksa masuk sementara aku masih terpaku di tempatku berdiri. Rum menutup pintu, meletakkan tas belanjaannya sembarangan di lantai, lalu kembali menatapku khawatir. Ketika kedua tangan pucat Rum membungkus lembut kedua tanganku, aku menunduk lemas. Aku tak sanggup membalas tatapannya dengan linangan air mata. Rum mendengarku terisak. Ia memelukku pelan, lalu mengelus rambutku yang belum disisir selama tiga hari sementara aku terus menghela napas. Setelah beberapa menit berlalu, air mataku mulai kering. Rum mengangkat daguku. "Kau sudah makan?"

Aku menggeleng lemah. Pandanganku kabur dan air mata siap mengalir lagi, tetapi Rum menuntunku ke sofa dan menyeka pipiku. Ia memintaku untuk duduk di sana selagi ia mengambil tas belanjaannya dan beranjak ke dapur.

Sungguh gadis cengeng dan penuh gangguan mental. Aku benar-benar lemah dibandingkan Rum. Kami sudah saling mengenal sejak usia lima. Rum sudah seperti kakak angkat. Aku adalah adik yang menyusahkannya dengan tindakan tak bertanggung jawab.

Kuusap sisa air mataku, berharap semua kepedihan yang timbul-tenggelam selama lebih dari tiga bulan ini juga ikut pergi Tetapi, nyatanya tidak. Aku masih merasakannya di dada.

Rum bergerak gesit saat mengeluarkan isi tasnya di meja makan. Tomat, kentang, dada ayam, saus barbeque, telur dan sekotak besar susu almond. Semua itu untukku, tapi aku hanya menonton selagi Rum menata meja. Ia berceramah selagi memasukkan telur dan susu ke kulkas. "Sebaiknya, kau langganan katering tiap hari Minggu agar jadwal makai teratur. Kau bisa pilih sendiri menunya. Kalau kau berminat, akan kuberikan nomor mereka."

Ia menutup pintu kulkas, meluruskan punggung, lalu menambahkan, "Atau kita bisa berkencan di restoran mahal."

Aku sontak tergelak, meski mataku masih merah dan bengkak. Rum ikut tertawa.

Selama dua puluh menit berikutnya, Rum sibuk meracik bumbu, memotong daging, dan bolak-balik dari wastafel ke oven untuk memastikan makan siang kami terpanggang sempurna sembari mencuci piring yang sudah dua hari mendekam di dasar wastafel. Oven berdenting. Rum menarik keluar nampan. Bersamaan dengan itu, aroma daging matang dan rempah-rempah menyeruak ke seisi dapur. Rum menyajikan makan siang kami di piring putih, lalu menuangkan air ke dua gelas bening. Rum melakukan segalanya sendirian, namun ia menungguku untuk duduk bersamanya.

Ayam panggang saus barbeque adalah menu makan siang kami. Seiris daging ayam meleleh di mulutku, mengalirkan rasa hangat dan nyaman ke seluruh tubuh. Masakan Rum selalu terasa seperti oasis di tengah padang pasir, sekalipun ada makanan yang baru saja kuhabiskan. Masakan Rum juga mengusir kabut dingin dalam relung hati, mengusik kegelapan hingga ia angkat kaki dan aku merasa benar-benar disayangi. Sejenak, aku merasa aman dan tenteram.

Rum mengosongkan gelasnya sebelum bertanya hati-hati, "Kenapa kau mengirim email seperti itu?"

Aku masih meneguk air sambil memalingkan wajah, tak berani meliriknya, tetapi Rum menunggu. "Kau juga berhenti kerja. Aku baru dengar surat pengunduran dirimu. Kenapa kau tidak bilang?"

Aku meletakkan gelas kosong di meja dengan muka menunduk. Rum ikut menundukkan wajahnya, berusaha menggapai tatapanku yang terus bersarang ke meja. "Apa ada yang ingin kau ceritakan padaku?"

Ada. Ada banyak. Tetapi, kau juga telah mendengar terlalu banyak. Aku hanya tak tega membebanimu dengan ketidakstabilan emosiku terus-menerus.

Rum bertanya lagi, "Apa seseorang mengancammu?"

Kepalaku menggeleng lemah. Rum menyandarkan punggungnya di kursi. Kudengar napasnya tercekat. Ia seperti menyadari sesuatu. Dari intonasi suaranya, aku bisa melihat wajah Rum memucat tanpa melihat langsung.

"Aku sangat ingin mengabaikan prasangka ini dan percaya padamu, tapi semua orang di kantor membicarakan sikap anehmu tadi malam. Tolong katakan kecurigaanku tidak benar."

Isakan kembali terdengar. Air mata kembali berderai. Telapak tanganku membungkus wajah, lalu kepalaku tersungkur ke meja makan. Rum bergegas memelukku. Ia juga terisak. Suaranya tak stabil. "Jangan pernah lakukan itu lagi, ya? Kau tidak boleh seperti ini. Tidak boleh. Kau punya aku. Apapun yang kau butuhkan, kapanpun, aku akan selalu siap membantumu. Hm? Janji?"

Kepalaku terangguk-angguk lemah. Rum semakin mengeratkan pelukannya. Ia mengelus punggungku dengan penuh sayang. Aku berkata lirih, "Maafkan aku."

"Tidak, tidak." Begitulah Rum mengasihaniku. Selama bermenit-menit, ia memelukku dan mengusap punggungku.

"Sekarang, kau hanya perlu istirahat. Karena kau sudah berhenti kerja, kau jadi punya banyak waktu untuk bersantai. Lakukanlah hal yang kau suka." Rum menatapku dengan penuh kelembutan. Aku mengangguk padanya. Rum bukan seperti saudara angkat, tapi ibu angkat.

Ia kini berdiri, berjalan ke kulkas. "Aku jadi iri padamu. Apa aku sebaiknya juga berhenti kerja?"

Rum berusaha menghiburku. Aku tertawa kecil. Rum tersenyum senang. Ia meneguk susu kotak, lalu berkata, "Aku mau pergi ke laundry. Sekalian saja aku angkut cucianmu, ya?"

Aku membalas dengan ucapan terima kasih. Selepas membuang kotak susu, Rum mengangkut satu persatu pakaian kotorku dari keranjang, lalu melipatnya asal ke dalam totebag. Selagi ia merapikan pakaian kotorku, aku menumpuk peralatan makan, lalu mengangkutnya ke wastafel. Keran diputar dan air mengalir deras.

Berkat Rum, aku merasa jauh lebih baik. Aku selalu merasa lebih baik di dekatnya. Ia mengenalku lebih dari siapapun dan aku menempatkannya sebagai orang terdekatku. Rum adalah panutan. Terkadang aku berpikir, mengapa Rum yang disenangi dan diandalkan banyak orang masih mau menjadi temanku, menungguku di halte bus tiap pulang kantor, bahkan memasak makan siang untukku di hari Minggu. Dia bersinar seperti penduduk surga, sedangkan aku adalah tawanan rendahan dunia fana.

Sementara tanganku menggosok permukaan piring dengan sabun, dadaku menarik napas sesak dan jenuh. Sadar akan betapa tidak seimbangnya posisi kami.

Sebuah guncangan halus di bahu kiriku membuyarkan lamunan tak bergunaku. Aku menoleh. Rum merentangkan sebuah jaket hitam. "Will, ini jaket siapa?"

Aku tidak bergerak. Itu jaket si cowok.

"Jaketku."

Rum mengernyit. "Kelihatannya bukan."

"Aku..." bagaimana aku menjelaskan kejadian kemarin pada Rum? "...tidak tahu itu punya siapa. Sepertinya pegawai laundry tak sengaja menyelipkan jaket itu di cucianku yang terakhir."

"Lalu kenapa ada di keranjang pakaian kotormu?"

"Tidak tahu." Mataku mengerling gugup, lalu berdalih, "Aku mungkin tidak sadar sudah melemparnya ke sana."

Rum berdecak sambil mengamati jaket itu. "Kita harus mengembalikannya ke laundry. Apa ada bajumu yang hilang?"

Aku menggeleng. "Tidak."

Rum berbalik dan kembali menyisihkan pakaian. Kedua tanganku kembali menggosok piring, tetapi benakku berputa-putar. Jaket itu nyata. Ada di sini. Itu artinya, pemuda itu juga nyata.

.
.
.

Pic on header: https://pin.it/19kNsj5

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang