Aku melongok ke selasar. Ada suara-suara saling bersahutan dari aula. Sepertinya, para Ultrakit telah pulang. Kuhampiri mereka, namun semakin mendekat, semakin aku merasa percakapan mereka tidak harmonis. Apa ada masalah?
"Ini namanya kudeta!" Itu suara Arbei, hampir melengking.
"Bukan cuma kita yang ada di sana, dan Pusat sudah sepakat. Kau harusnya bilang begitu sebelum ketuk palu." Abel.
"Kita sejak awal menolak untuk bekerja sama, tapi kenapa nama kita ada di pihak yang mendukung?"
"Kau menuduh Abel, Jules?" Sajda.
"Oh! Tidak ada yang bisa disalahkan di sini." July berteriak sarkastik.
"Kita perlu kembali ke kamar masing-masing dan berdiskusi lagi dengan kepala dingin." Ash, agak frustasi.
"Ide bagus. Aku sudah muak melihat kalian." Itu Sebas, lalu ia muncul di selasar, sejenak membeku saat melihatku, tapi kemudian tampangnya tak acuh dan ia melaluiku.
Langkah-langkah lainnya terdengar menyusul. Karena panik, aku berlari kembali ke kamar. Sepertinya sedang ada masalah serius. Mereka sepertinya sedang berdebat hebat.
"Will?" Pintu diketuk. Aku bangkit dari kasur, memberi jeda sedikit sebelum membuka pintu.
"Kau baru pulang?" tanyaku penuh kepalsuan. Ash berdiri canggung di ambang pintu. "Apa aku boleh masuk?"
Aku membuka pintu lebih lebar. "Ini, kan, kamarmu."
Ash melangkah masuk. Aku mundur dan kembali ke kasur. Ash berbalik, menutup pintu dengan sangat pelan.
"Apa semua baik-baik saja?" Aku berbasa-basi. Ash seperti tengah mendesah. Ia ikut duduk di kasur, lalu meraih tanganku. "Ada masalah, tapi kami akan segera mengatasinya."
Ash memainkan jari-jariku. "Kau sudah makan?"
Aku mengangguk.
"Apa kau kesulitan selama sendirian di sini?"
"Tidak. Aku merasa jadi tuan rumah."
Ash tertawa. "Kuharap kau belum sempat menggadaikan rumah kami."
Aku ikut tertawa. Ash berdiri. "Aku harus mandi."
Aku ikut berdiri. "Aku akan memasak."
"Terima kasih." Ash tersenyum senang. Ia masih menggenggam tanganku. Ash menciumnya.
.
.
.
.
.Seperti yang kusaksikan, masalah ini jelas berbeda dari yang pernah terjadi sebelumnya. Aku sudah beberapa kali menyaksikan mereka berdebat, tapi tidak pernah seserius ini sampai suasananya dibawa ke meja makan. Dari posisi duduk mereka, aku bisa tahu siapa di kubu mana. Arbei, July dan Sebas duduk berseberangan dengan Abel, Sajda dan Ash. Aku ada di kursi ujung layaknya wasit.
"Kau mau tukar posisi denganku?" bisikku pada Sajda. Mata hijau pemuda itu lekat pada July. Ia mengerling padaku ramah. "Santai saja, Will."
Sebas mengangkat sendoknya. "Terima kasih atas makanannya."
"Terima kasih, Will," ucap Abel hampir tak terdengar. Selama dua puluh menit makan bersama, tidak ada yang bicara. Abel saja yang membuka obrolan denganku. "Apa kau sudah dapat pekerjaan lagi?"
Sebas dan Arbei ikut menoleh padaku. Aku bergantian menatap mereka.
"Oh, kau tahu?" tanyaku sembari melirik Ash. "Aku memang sedang cari kerja, tapi belum dapat. Doakan saja."
"Pasti. Semangat, Will."
Lalu, sudah. Tidak ada dialog lagi. Ini sama sekali berbeda dari terakhir kali aku makan bersama mereka. Begitu semua piring telah kosong, Sajda menghampiri tabel piket dan bergumam cukup jelas untuk didengar semua orang. "Abel."

KAMU SEDANG MEMBACA
Semidevil
RomanceWilhelmina singkat saja dipanggil Will, sesingkat dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Baginya, jiwanya telah lama mati. Ia telah kehilangan motivasi, semangat, dan minat terhadap hal-hal yang ia sukai sebelumnya. Malam itu, Will sudah siap unt...