Sudah ada satu minggu semenjak kedatangan sonya dan Ardi, serta dokter memberi tahukan akan melepas alat bantu hidup anya jika anya tak kunjung sadar, dan seminggu ini anya tidak memperlihatkan tanda-tanda dirinya akan sadar dari komanya membuat Gio dan satria berpasrah jika ini akhirnya, mereka akan merelakan anya untuk beristirahat dengan tenang dipangkuan Tuhan sana.
"Dok, boleh saya minta waktunya sebentar?", lirih Gio yang diangguki dokter, " baiklah saya kasih waktu 30 menit untuk kalian", dokter dan suster itupun pergi dari ruangan itu membiarkan satria dan Gio kesempatan untuk berbicara dengan orang yang mereka sayang sebelum semuanya benar-benar berakhir.
Satria tak sanggup untuk menopang tubuhnya sendiri dengan kedua kakinya, ia terduduk dilantai putih rumah sakit dengan pandangan yang terus menatap bankar dimana ada anya diatas sana dengan tatapan kosong.
Sedangkan Gio, dia sudah tak menggunakan pakaian rumah sakit dan infus lagi, kini dirinya sudah terlihat sedikit lebih baik dari sebelumnya.
Gio berjalan mendekati bankar anya, berdiri disamping nya menatap anya dengan tatapan harap, mengusap surai itu perlahan, tanpa terasa mata itu semakin memburam membuat kristal bening itu turun tanpa harus disuruh.
Tak ada kata yang diucap, ataupun suara isakan yang terdengar diruangan itu. Suara detak jantung dari arah monitor dan suara jam yang terdengar membuat keduanya dituntut untuk mengikhlaskan secara perlahan.
30 menit sudah berlalu, sekarang keduanya hanya menanti sang dokter datang dan melepaskan alat bantu hidup ditubuh anya, hingga akhirnya anya akan tiada untuk selamanya.
"bang... A-anya", satria tersadar dari lamunannya saat Gio memanggilnya dan melihat kearah anya disana.
Sudut bibir satria terangkat saat melihat anya, "dek...", gumamnya dan bangkit dari simpuhnya dan berjalan menuju bankar Anya
"Gi, i-ini... beneran?", satria memegang tangan anya menggenggamnya dengan erat seperti seorang yang enggan melepaskan seorang untuk pergi.
Gio hanya mengangguk dan terus menatap anya dengan tatapan harunya.
'terimakasih Tuhan....', gumamnya
💉💉💉
"jangan nangis", lirih gadis itu tanpa suara ketika melihat kedua lelakinya yang terus menggenggam tangannya dengan air mata yang terus mengalir.
Anya sudah sadar 5 jam yang lalu, saat dokter ingin melepas semua alat tiba-tiba jari tangan Anya bergerak dan satu jam kemudian matanya terbuka, membuat Gio dan satria terus-terusan tersenyum dan meneteskan air mata bahagia.
Saat ini kondisi Anya sudah lebih baik, walaupun masih harus memakai alat bantu jantung dan pernafasan sampa keadaannya kembali stabil, namun itu semua tak dihiraukan karena keadaan Anya sekarang semakin membaik dan bisa sedikit berbicara walaupun lirih dan hampir tak bersuara.
Satria mengusap surai itu, mendekatkan bibirnya dengan kening Anya dan mengecupnya sedikit lama membuat Anya perlahan menutup matanya merasakan aliran rindu dari sang kakak.
Satria melepaskan kecupannya, "jangan bikin abang khawatir lagi ya... Anya bobonya terlalu lama bikin abang nunggu, gak enak tau", dengan muka sok diimut-imutkan membuat Anya gemash dan mengangkat sudut bibirnya, "maaf", lirihnya.
"Ay... ", panggil Gio membuat Anya melihat sosok itu dan merentangkan tangannya membuat Gio bingung dan mengangkat alisnya, 'apa?'
" peluk", lirihnya membuat Gio terkekeh dan mendekap raga yang masih rapuh itu dengan lembut membuat satria berdecak, "kalo mau pacaran liat kondisi napa? serasa setan gua", Gio melepaskan pelukannya dan melihat satria dengan cengiran khasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
02.59 '🅔🅝🅓'
Ficción General⛔FOLLOW DULU SEBELUM BACA⛔ kalo suka sama cerita ini jangan lupa vote dan komennya gaiss 🥰🥰🥰🥰 sebagai manusia, kita hanya bisa menjalani keadaan yang sudah ditakdirkan Tuhan untuk kita dengan tulus dan ikhlas, entah itu baik atau buruk, menderit...