1

39.2K 2.2K 43
                                    

"Kamu kalau jadi aku, pingin cakar mukanya nggak?" Aku menggebrak pelan meja di depanku dengan sedikit seru.

Gemi spontan menatap sekitarnya, kemudian melotot kepadaku. "Bisa, nggak? Nggak bikin gaduh."

Aku menggeleng mantap. "Nggak bisa. Aku lagi sebel banget, Gem,"

Aku sampai di cafe ini sekitar pukul tujuh malam. Selepas pulang kantor, dan selepas diserang feedback habis-habisan oleh bu bos karena menurut beliau, market research-ku nggak matang semuanya. Nanggung.

Oke. Aku bisa terima soal feedback. Apa pun. Aku pasti terima.

Tapi..

Oh gosh..

Bahkan mengingatnya saja, masih membuatku jengkel setengah mati sampai sekarang.

Bu bos membandingkan market research-ku dengan Kiran; rekan kantor yang satu-satunya memiliki posisi yang sama denganku; Assistant Brand Manager. Padahal, jenis produk dan event yang kami riset itu berbeda!

"Minum dulu deh Americano-nya. Katanya abis ini mau lembur kerjain presentasi." Gemi menyodorkan segelas Americano dingin yang tadi dibuatkannya khusus untukku. "Jadwal presentasi kalian bareng?" Tanyanya kemudian. Masih dibalik coffee machine.

"Aku dulu, kemudian baru dia. Dan aku bakal bikin dia anjlok saat itu juga karena kemakan gondok."

Gemi melenguh. "Ada-ada aja sih, Ra.. mending, kamu fokus sama dirimu sendiri aja dulu. Jangan malah terlalu fokus ke lawanmu."

Aku nggak peduli.

Bodo amat.

Aku kalau sudah sebel sama seseorang, nggak bakal bosen untuk selalu mengusiknya. Apalagi tentang hal pekerjaan.

"Jangan berlebihan, Ra.." ujar Gemi sembari melakukan steaming pada jug berisi susu yang dibawanya. "Dia laki-laki, lho.. jangan terlalu jelek-jelekkin banget. Bisa-bisa jadi suami!"

Aku spontan huek cuih. "Dia itu adalah satu-satunya laki-laki, yang meskipun dunia ini kiamat, nggak akan pernah aku pilih jadi suami."

Gemi menggeleng. "Sakit hati banget kayaknya,"

Aku menyeruput kembali Americano dinginku, sambil mengumpulkan tenaga. "Lagian, dia bilang apa coba? Wanita itu jangan muluk-muluk kejar karir. Menurutnya, wanita kalau dapat jabatan tinggi, semata-mata ya karena ketolong masih single aja. Coba kalau sudah berkeluarga, atau punya anak, posisi seorang wanita itu akan stuck di bagian staff biasa saja. Nggak ada jabatan yang berarti untuk perempuan yang sudah berkeluarga."

Gemi mengernyit. "Sialan juga kata-katanya. Dipikir kalau berkeluarga, yang wajib ribet mikirin rumah tangga itu istri doang? Dan si suami doang yang boleh kejar karir.."

Aku menunjuk-nunjuk Gemi. "Iya 'kan? Dia tuh cowok. Udah berumur. Tapi mulutnya lemes banget. Ampun."

Gemi selesai dengan hot cappucinno-nya. Dia menyusulku untuk duduk berdua di meja.

"Aku bakal buktiin. Tahun ini, aku akan ubah status Assistan Brand Manager-ku ini jadi full in charge sebagai Brand Manager. Bahkan kalau aku harus nggak menikah pun, aku nggak masalah asal bukan si curut Kiran yang dapat posisi itu."

Gemi sedikit terbelalak. "Serem amat, ngomongnya. Hati-hati, di kanan kirimu itu ada malaikat. Omongan apa aja, bisa jadi doa." Kemudian dia bergidik.

Aku menyambit puncak kepalanya dengan ujung napkin. "Kok gitu sih, Gem? Ayo dong.. kita harus galakkan lagi tentang women empower each other!" Seruku.

9096 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang