32

14.1K 1.7K 71
                                    

Jam dinding ruang keluarga udah menunjukkan pukul delapan malam, dan aku masih sama dengan posisiku sejak setengah jam yang lalu; duduk dan memandangi foto studioku dan mas Bumi yang udah dicetak dan dipigura.

Di sebelahku, duduklah bu Surti yang ikutan memandangi mahakarya Arsana dan tim-nya yang benar-benar menakjubkan.

"Kok iso, ya, cuma hitam putih tapi kelihatan cetha?" pandangan mata bu Surti menyapu setiap sudut foto. "Kalau secocok ini, kenapa nggak dari dulu kalian pacarannya?"

Aku hampir terjerembab begitu mendengar pertanyaan bu Surti. "Dulu itu kapan? Pas tetanggaan?"

Bu Surti dengan ringan mengangguk.

"Kalau pas masih tetanggaan, Ara masih SD dong, budhe.." ujarku. "Mas Bumi semester awal kuliah. Nggak akan secocok ini." Tepisku.

Bu Surti terkekeh. "Oh.. berarti sekarang udah mulai cocok??"

Kayaknya aku yang salah ngomong.

Aku memilih untuk memandangi lagi foto tadi. Untung yang ini boleh aku bawa pulang. Dibandingkan yang lain, foto ini yang menurutku paling bermakna, sih. Posenya; kami berdua sedang berdiri berhadapan, mas Bumi dengan wajah datar andalannya, sementara aku yang tertawa lepas entah karena apa. Tapi yang perlu digaris bawahi adalah semuanya nggak dibuat-buat. Aku pure tertawa. Meskipun aku lupa karena apa, kadang mas Bumi yang diam saja, cukup bikin aku ketawa.

Nggak lama, aku mendengar suara derap langkah kaki yang mendekat ke arah kami berdua.

"Kok belum tidur, nduk?" Mama datang dengan tampilan yang sepertinya udah siap untuk tidur.

Aku menggeleng.

"Ini besok dipasang?" Mama menunjuk foto yang sedari tadi aku pandangi. Beliau berjalan menuju kulkas dan mengambil container air untuk dituangkannya ke dalam gelas.

"Nggak. Yang ini Ara simpan."

"Buat rumah ini aja, ya?" Pinta Mama.

Aku mengernyit. "Dipasang di kamar Ara?"

"Di ruang tamu." Jawab Mama ringan.

"Nggak cocok dong, Ma.." cibirku.

Mama mendengus. "Jamu punya Ara udah diminum, budhe?" Beliau menyebelahi bu Surti.

Seakan lupa sesuatu, bu Surri menepuk pelan jidatnya. "Oh iya. Lupa, bu. Sebentar.." sejurus kemudian, bu Surti berjalan menuju kulkas, kemudian mengambil sebuah botol plastik berisi jamu yang dimaksud Mama.

"Jamu apa tuh?"

Bu Surti nyengir. "Namanya jamu kunci sirih."

Aku mengernyit. "Agar supaya?"

Bu Surti dan Mama seketika berpandangan. Perasaanku berubah nggak enak.

"Ya, buat kesehatan aja. Buat daya tahan tubuh menjelang pernikahan." Jawab Mama, tapi tampak ragu.

Sesaat kemudian, aku berjalan menuju kulkas.

Begitu pintu kulkas terkuak, aku terperanjat. "Sebanyak ini???!!!" Seruku begitu menemukan sepuluh botol lainnya. "Ini jamu kunci semua?"

"Kunci sirih," Mama menghampiriku, dan dengan perlahan mengarahkanku untuk menutup pintu kulkas dan menjauhi kulkas itu. "Diminum minimal sehari sekali. Banyak manfaatnya." Tukas Mama.

Aku hendak kembali membantah, tapi bunyi bel dari pintu rumah membuat fokus kami bertiga terpecah.

"Ada tamu malem-malem?" bu Surti segera berjalan menuju pintu rumah.

9096 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang