13

13.3K 1.6K 86
                                    

Aku bangun pagi-pagi sekali dan langsung berlari untuk mandi dan bersiap diri.

Semalam, aku sampai di rumah hampir pukul delapan malam. Meeting yang aku kira sekejap, nyatanya hampir lima jam lamanya. Karena lumayan lelah, aku langsung pergi ke kamar dan tidur lebih awal.

Tepat pukul tujuh, aku udah ada di ruang makan untuk sarapan.

"Pagi," sapaku kepada seisi meja.

"Pagi, nduk.." balas Papa ringan.

Aku bisa merasakan empat pasang mata menghunus kepadaku dan Papa secara bergiliran. Mata Mama dan Seruni.

Look, aku memang belum menyetujui pernikahanku, tapi obrolanku dan Papa dua malam lalu menjadi titik balik kondisi di antara kami berdua.

Ya, meskipun nasibku ke depannya belum terlalu jelas juga, seenggaknya hubunganku dan Papa nggak terlalu berantakan sekarang.

Begini, aku belum memutuskan akan bersedia menikah atau nggak. Meskipun memang, aku nggak punya pilihan lain sekarang.

Tapi saat ini, yang paling utama adalah kesiapan batin dan pikirku secara pribadi. Ah, sanggup kah aku mengumpulkan itu semua dalam waktu kurang dari satu bulan?

Di sisi lain, aku juga terus mempertimbangkan pilihan yang diberikan oleh Papa; laki-laki pilihanku atau pilihannya.

Setidaknya, dalam hal ini, aku masih diberikan kesempatan untuk memilih. Ya, meskipun aku belum benar-benar yakin dengan hasilnya nanti.

Wah, aku nggak pernah berusaha sekeras ini dalam hidupku.

Aku jadi benar-benar deg-degan sekarang karena aku nggak bisa memikirkan pilihan lain selain Arga.

Soalnya, siapa lagi cowok yang familiar di kehidupanku selain Arga? Masa si tunggal campuran?

Apakah aku harus benar-benar melakukan semua ini?

Of course lah, Ra.

Aku harus segera menyampaikannya kepada Arga.

Sambil dandan tadi, aku menyempatkan diri untuk browsing beberapa artikel tentang perempuan yang melamar laki-laki duluan.

Iya. Kegilaan seorang Arawinda mulai menuju titik puncaknya 'kan?

Sesaat kemudian, Papa pamit untuk berangkat duluan. Disusul Seruni yang tampak bergegas karena apel paginya.

Tersisa aku dan Mama di meja makan.

"Ra.." panggil Mama.

"Dalem?" Jawabku di sela-sela kegiatanku mengunyah nasi goreng.

"Kamu jaga kondisi ya, nduk.. nggak baik kalau terlalu capek. Terlalu memaksakan diri.." Mama mendekatkan posisi kursinya kepadaku, kemudian memijat perlahan lenganku. Saat pulang kerja semalam, aku sempat bertemu dengan Mama di ujung tangga.

Mama ini. Ngomong begitu kok kayak beliau bukan salah satu dari penyebab kondisiku saat ini. Aku hanya bisa menggerutu dalam batin.

"Ara lagi banyak pikiran aja, Ma.." jawabku.

Mama menghela nafasnya. "Tentang rencana pernikahanmu, ya?"

Nah, itu tahu.

Tapi, aku diam saja.

"Kamu sendiri, gimana?"

Aku mengernyit. "Gimana apanya?"

Mama memandang sekeliling. Memastikan lagi di ruangan ini hanya ada kami. Bahkan bu Surti pun kayaknya nggak boleh dengar. "Mau, ya?"

9096 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang