30

15.8K 1.8K 90
                                    

Aku adalah tipe orang yang nggak pandai bersembunyi di balik topeng.

Topeng apa? Ya, ini—orang-orang bisa tahu bahwa sekarang aku sedang bete banget hanya dengan melihat air mukaku saja. Termasuk mas Bumi.

Well, aku yakin mas Bumi cukup notice bahwa aku sedang kesal, tapi dia nggak ada komentar apa pun semenjak aku datang masuk ke klinik, hingga kami udah selesai menjalani check up.

Aku begini pun juga gara-gara Kiran. Meskipun aku udah membungkamnya sebelum pergi, nyatanya rasa kesalku belum juga hilang sampai saat ini. Kayaknya aku baru akan lega dan tenang saat udah berhasil nonjok mukanya sih.

Saat ini, aku sedang duduk berdua dengan mas Bumi di ruang tunggu. Kami udah selesai check up, dan hasilnya akan keluar dua hari lagi. Kami duduk disini untuk menunggu kwitansi pembayaran.

"Abis ini, mau balik kantor—"

"Mas." Aku menepuk punggung tangan mas Bumi. Bersamaan dengannya yang kayaknya mau bilang sesuatu.

Kita singkirkan sejenak pertanyaan mas Bumi, dan mulai fokus dengan apa yang sampai saat ini mengganggu pikiranku. Aku udah benar-benar nggak sanggup menahannya.

"Dalem?"

Aku hampir gagal fokus begitu mendengar jawaban dari mas Bumi. Kayaknya aku udah harus mulai terlatih dan terbiasa dengan suara "dalem"-nya deh.

"Mas Bumi tahu, apa pekerjaanku?" Tembakku.

Mas Bumi menatapku heran. Ya, aku aja yang pertanyaannya terlalu tiba-tiba. "Assistant Brand Manager di—Kelana? Itu clothing brand, ya?" Dia menggantung pertanyaannya.

Aku mengangguk. Oke, sampai sini dia paham. "Mas tahu kalau aku sering lembur dan pulang malam?"

Mas Bumi mengangguk ringan. Oke, udah ku duga.

"Mas keberatan, nggak?"

Mas Bumi tampak terhenyak. Dia menatapku sedikit lebih lama. "Kamu senang, nggak, jalaninnya?"

"Ya, senang." Jawabku mantap. Senang-senang saja, lah. Meskipun nggak pernah ada dalam bayanganku, posisiku saat ini adalah hal yang memang aku niatkan dan perjuangkan. Pekerjaanku saat ini, beserta segala prospek dan progress di dalamnya adalah seperti impian yang harus banget aku capai.

Seperti menangkap maksudku, mas Bumi mengubah posisi duduknya untuk menghadapku. "Ada masalah apa di kantor, Ra?" Tanyanya. Nada bicaranya kedengaran begitu lembut sampai sedikit mengikis rasa kesalku yang memuncak tadi.

Aku menghela nafas sejenak. "Aku takut hal itu bakal berubah setelah menikah." Bagiku, benar-benar sulit mengakuinya, meskipun aku udah menolak mentah-mentah pernyataan Kiran. Nyatanya, pernyataan Kiran tetap saja menghantuiku.

Mas Bumi mengernyit. "Pekerjaanmu?"

Aku mengangguk. "Aku takut kalau setelah menikah nanti, pekerjaanku jadi nggak menyenangkanku, mas.." aku menatap mas Bumi dengan putus asa. "Ya, pekerjaanku ini memang nggak sepenuhnya menyenangkanku. Tetap ada pressure di balik pleasure-nya. Tapi, aku udah berusaha banget untuk sampai di titik ini."

Mas Bumi masih menyimak.

"Aku nggak menyesalkan rencana pernikahan ini. Sama sekali nggak merasa begitu." Aku meminta pengertian mas Bumi untuk nggak tersinggung dulu. "Aku hanya merasa, akan seperti apa perubahan itu, dan apakah aku bisa menjalani perubahan itu?"

Hening sejenak.

Mas Bumi belum berkomentar sedikit pun.

Aku kembali menghela nafas. Berat banget rasanya. Tapi setidaknya, aku berhasil mengutarakannya.

9096 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang