9

14K 1.6K 20
                                    

"Ra.. mandi nggak, sih?" Celetuk Didi saat berpapasan denganku di pantry kantor.

Aku mendengus. "Arawinda sedang mode hemat air."

Didi menggeleng. "Najis." Dia beralih meraih kedua pundakku dan memeriksaku dari ujung rambut sampai ujung kaki. "You don't even dress up, maam!"

Bodo amat. Aku tadi pagi bangun pagi-pagi banget supaya nggak berpapasan dengan para anggota keluargaku. Padahal semalaman, aku nggak bisa tidur nyenyak. Selalu kebangun setiap satu jam.

Di hari Senin ini, aku mengenakan t-shirt gelap dengan satu lapis blazer bermotif sederhana. Aku yang senang banget pakai bawahan rok dan pump heels, hari ini memilih untuk mengenakan jeans dan sepatu kanvas bersol rendah. Aku benar-benar udah seperti gembel sekarang. Nggak ada aura-aura manager-nya.

"Aku buatin kopi, ya, ceu.." kata Didi.

Aku hanya mengangguk, dan memilih untuk duduk sambil bersandar ke meja. Hari masih pagi, tapi aku udah benar-benar lelah.

Argh, kepalaku rasanya pusing banget.

Didi menghampiriku sambil membawa segelas kopi panas. Dia langsung duduk menyebelahiku.

"Kayaknya meeting kemarin fine-fine aja. Ada masalah apa, sik? Presentasi tinggal seminggu lagi nih.." ujar Didi sambil menyodorkan segelas kopi tadi.

"Aku kurang tidur ajaaaa.." aku beralasan.

"Bener?" Didi memastikan.

Aku mengangguk mantap.

"Nggak lagi patah hati 'kan, ceu?"

Aku berdecak. "Do I look like I have a boyfriend?"

Didi nyengir. "Kalau gejalanya sampai kayak gini. Kamu kayak para istri yang jatah bulanannya kurang, ceuuu.."

Entah kenapa, aku tersenyum getir mendengar kata 'istri' yang baru saja diucapkan Didi.

"Aku udah pantas ya, Di, jadi istri?"

Didi yang sedang menyeruput kopinya, seketika membelalakan mata. "Apaan tuh maksudnya?!"

Aku mengenyahkan pundakku asal-asalan. "Just wondering."

Didi tampak bergeming. "Ya kalau dipikir-pikir, bagi perempuan normal nih, menurut pandanganku nih, pandangan dari seorang Didi Hadid yang rupawan dan baik hatinya-"

Aku mencubit pelan lengannya. "Kelamaan lu, ceu.."

Didi terkekeh. "Sebagian perempuan, umumnya pasti akan mikir gini nggak sih, Ra, kalau ada di posisimu saat ini. Financially stable, jabatan oke, karir jelas, umur dan fisik juga mumpuni. Mau cari apa lagi?"

Aku menyimak.

"Ya, bagi sebagian perempuan, normalnya setelah memiliki itu semua, cari pasangan hidup. Cari suami. Kamu mikir gitu juga nggak, sih?

Disodori pertanyaan seperti itu, aku mendadak gelagapan.

Didi mengesah. "Aku baru sadar. Tapi 'kan Arawinda bukan perempuan normal.."

Anjir.

"Kalau semisal jadi istri, menurutmu, kira-kira aku akan jadi istri yang seperti apa?" Tanyaku.

Didi menatapku nanar. "Ceu.. you scares me now.."

Aku langsung terbahak. "Nanya doang, Didi.."

"Aku nggak tahu kamu bakal jadi istri yang seperti apa nantinya karena bukan aku yang menjadi suamimu kelak." Didi terbahak singkat.

"Bukankah tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, ceu? Termasuk kamu jadi suamikuuu?" Godaku sambil menowel-nowel dagu Didi yang makin lama makin v-shape.

9096 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang