22

12.8K 1.7K 51
                                    

Aku terbangun saat mendengar Mama mulai mengomel dan berjalan kesana kemari. Sebelumnya, dia mengambil panci berisi sop sisa kemarin untuk diletakkan di meja makan. Selanjutnya, ayam goreng. Kemudian, bakwan jagung. Menu yang dibawanya ke meja makan konsisten berganti, tapi bahan omelannya untukku nggak pernah berganti.

"Kamu itu mau jadi istri. Pagi ini mau ke KUA. Udah duingatkan dari kemarin, kok masih saja bangun siang?"

Aku menoleh ke jam dinding ruang makan. "Masih jam delapan, Ma.."

Mama menoleh kepadaku dan melotot. "KUA juga jam segini udah ramai."

Aku manyun.

"Banyak perempuan yang belum ketemu jodohnya, makanya nggak kesampaian dateng ke KUA. Kamu, udah dilamar, dikasih jodoh, malah menyepelekan."

"Bukan Arawinda yang minta dilamar." Celetukku.

Mama yang sedang mengaduk sop di panci, seketika menatap tajam ke arahku. Seolah isi panci bisa pindah ke mukaku kapan saja.

Aku menyerah. "Iya.. iya.." aku menyudahi sarapanku.

"Berangkat sama mas Bumi 'kan?"

Aku menggeleng. "Ketemuan disana."

Mama kembali melotot. Asli deh. Lama-lama aku ngeri kalau melihat beliau melotot berulang kali.

"KENAPA NGGAK BARENG AJA? MEMANGNYA KALIAN MENIKAHNYA SENDIRI-SENDIRI?!!!" hardik Mama panjang lebar.

Ya, yang benar saja. Setelah insiden hutan gundul kemarin, masa aku masih punya muka untuk berangkat bareng dengan mas Bumi ke KUA. Lha wong setelah itu, aku nggak jadi makan dan memilih langsung dandan untuk persiapan acara lamaran Seruni.

Tanpa menanggapi Mama, aku segera bangkit dari kursi dan mengambil tas pergiku, beserta map plastik berisi dokumen-dokumen untuk syarat administrasi. Oh iya, nggak lupa kunci mobil.

"Arawinda! Jawab Mama!" tanpa diduga, Mama menyusulku.

Aku mempercepat langkahku menuju pintu rumah. Aku harus pergi saat ini juga. Kalau nggak, bisa makin ribet urusannya.

Asli. Kami berdua jadi kucing-kucingan.

Saat udah sampai di depan pintu, dan membukanya, aku justru menemukan mas Bumi dengan posisi berdiri di depan pintu, dia hendak memencet bel rumah.

Argh.

Rasanya malu banget sekarang.

Kenapa sih, semenjak dilamar, aku jadi nggak pernah kelihatan anggun di matanya?

Pertama, soal hutan gundul.

Kedua, soal kejar-kejaran dengan Mama.

Imageku semakin kelihatan bermasalah saja.

"Pagi, Ra.." sapa mas Bumi saat mata kami bertemu.

Dari dalam, aku masih mendengar dumelan Mama dan derap langkah buru-burunya. Sesaat kemudian, pintu dikuak paksa oleh Mama.

Seperti disiram air es saat cuaca sedang panas-panasnya, ekspresi marah Mama meleleh dan berubah pesat begitu melihat mas Bumi di hadapannya.

"Eh, mas Bumi udah datang." Ujar Mama dengan nada bicara yang benar-benar terbalik dari sebelumnya. Astaga, padahal belum ada satu menit lalu beliau mencak-mencak.

Mas Bumi mengangguk sopan. "Iya, Ma.. jemput Ara.." jawabnya dengan halus.

Wait. Seingatku, aku udah chat dia untuk langsung ketemuan saja di studio foto deh. Nggak perlu jemput segala.

Dan sejak kapan sih, dia ikut-ikutan panggil dengan sebutan Mama? Seakrab itu lu?

Nggak ingin memperlama situasi awkward, aku segera menggiring mas Bumi untuk langsung berangkat saja.

9096 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang