28

13.3K 1.5K 26
                                    

"Undanganmu mana, kok nggak sampai-sampai? Jadi kawin nggak, sih?" Omel Gemi sambil mencocol sashimi-nya ke kecap asin.

Seperti biasa, aku mampir ke cafe Gemi pada break makan siang. Siang ini, aku dan Gemi memilih nongkrong di back office sambil melahap satu box penuh isi berbagai jenis macam sushi yang sedang promo di GoFood.

Aku mendengus. "Besok jadi. Sore ini mau setor foto ke vendor yang ngurusin undangan digital."

Gemi mengenyahkan tangannya. "Nggak perlu undangan sebenarnya juga nggak pa-pa sih. Apalagi undangan fisik. Nambah-nambahin sampah kertas tahu, nggak?"

Celetukkan Gemi aku balas dengan jempol yang mantap. "Aku juga bilang gitu ke Mama-Papa. Cuma, ya, namanya juga orang tua; kurang sakral kalau nggak pakai ulem. Apalagi teman-teman kantor Papa banyak. Taruhan sama aku.. besok tamu yang paling banyak datang, ya, teman-temannya ortu."

Gemi mengangguk. "Mostly gitu semua nggak, sih? Paling nanti yang datang ke pestamu juga cuma aku, Arga, terus... hmmm... teman-teman SMA kamu undang?"

Aku mengangguk. "Tebak! Aku dikasih kuota berapa?"

"500?" tembaknya.

"Dari 1000." tambahku.

Gemi nyaris menyemburkan sisa sashimi yang ada di mulutnya. "Itu udah dikali dua 'kan?"

Aku dengan mantap menggeleng.

"Udah gila!" serunya sambil cengengesan.

Aku mengesah. "Kamu kayak nggak paham Mama-ku gimana."

"Papa-mu lumayan famous sih soalnya." Gemi berdecak. "Kamu mau undang dari teman PAUD sekalian?"

"I don't even remember my univ friends, Gem!" dumelku.

Kini, seisi ruangan dipenuhi suara tawa Gemi yang benar-benar puas dan renyah.

"Aku cuma bisa penuhin 400. Itu udah sama teman-temannya mas Bumi padahal." jelasku sambil menggaruk ujung kepalaku yang nggak gatal. "Teman-teman kuliahmu undang aja Gem sekalian.."

Gemi semakin terkekeh. "Nggak sekalian seluruh karyawan cafe ini, Ra?"

Aku sama sekali nggak keberatan. "Nggak pa-pa. Datang aja. Nggak usah bawa apa-apa juga nggak masalah." Aku merengek karena udah stress banget. "Satu-satunya kuota yang bikin pressure emang kuota undangan. Kalau kuota internet mah enak."

Gemi meletekkan sepasang sumpitnya dan beralih menyeruput segelas lemon tea dingin yang ada di hadapannya. "Benar-benar bakal jadi pesta rakyat 2 hari 2 malamnya keluarga pak Nugroho."

Aku menepuk jidatku pelan.

"Kamu nggak ada dresscode buat bridesmaid?" Tanya Gemi.

Aku mengernyit. "Nanti kamu doang dong yang pakai."

Gemi seperti disentil sesuatu. "Iya juga, ya.."

"Jangankan dresscode bridesmaid, Gem. Aku nggak bikin-fitting-jahit-payet yang terlalu lama. Aku sewa yang udah jadi aja dari tukang make up-nya sekalian." Jelasku sambil sedikit terbawa emosi. Ya, gimana, ya.. menikah itu persiapannya benar-benar.. ribet. Thats why selain masalah janji sehidup semati, menikah emang seharusnya sekali aja dan nggak ada kata lagi. "Aku aja cuma pakai dua baju. Satu buat akad, satu buat resepsi. Udah."

"Seruni gimana?"

Aku menggeleng. "Hari pertama dia dibolehin menikah, dia langsung fitting attire yang potongannya bisa nutupin perutnya." Aku mendesis kepedasan karena terlalu banyak menaruh wasabi di atas potongan sushiku.

Hening sejenak. Aku dengan air putih dinginku, sementara Gemi tampak masih menerawang sesuatu.

"Ra.. serious question.." ujarnya tiba-tiba.

9096 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang