12

13.8K 1.4K 14
                                    

Selasa pagi yang cukup amsyong bagiku.

Bangun buru-buru. Nggak sempat dandan. Nggak sempat sarapan.

Baru beberapa meter melajukan mobil keluar rumah, aku tiba-tiba merasakan bagian bawah perutku nggak enak. Ya, bisa ditebak; tamu bulan ini udah datang.

Ah, persediaan pembalut di pouch dalam tas kerjaku udah habis, dan aku belum sempat beli pula.

Alhasil, sebelum melanjutkan perjalanan ke kantor, aku mampir sebentar ke minimarket yang masih dalam radius dekat rumah untuk membeli pembalut, serta seperangkat alat untuk menyambut keram perut a la Arawinda; minuman air kelapa, pembalut, dan koyo.

Sesampainya di minimarket, aku sedikit lega karena kondisi di dalam nggak terlalu ramai.

Dengan satu gerakan cepat, aku segera mengumpulkan seperangkat alat tadi, pembalut, dan beberapa camilan. Ah, aku juga kadang sedih, kenapa hormon saat menstruasi selalu membuatku mudah kelaparan.

Nggak sampai lima menit, barang-barang belanjaanku udah siap untuk aku letakkan di meja kasir dan siap dihitung. Aku hanya perlu menunggu satu antrean, seorang ibu yang sedang melakukan pembayaran untuk satu botol minyak goreng di tangannya.

Setelah melihat si ibu selesai melakukan transaksi, aku segera meletakkan barang belanjaanku di meja kasir.

"Mas, Gudang Garam yang merah satu." Celetuk seseorang dari sampingku secara tiba-tiba.

Aku tersentak.

Saat aku menoleh, aku menemukan seorang bapak yang aku tahu betul, dia baru saja masuk, dan nggak antre dari belakang.

Lah, kenapa hidupnya enak banget?

Aku sengaja menggeser belanjaanku tadi untuk semakin mendekati posisi pramuniaga. "Saya dulu yang antre, mas.." aku memberitahu kepada mas pramuniaga.

"Saya cuma rokok satu bungkus aja, mbak. Nggak lama.." si bapak tukang srobot tetap kekeuh dan mulai mengeluarkan dompetnya, bersiap membayar.

Aku kembali menatap mas pramuniaga. "Saya dulu mas," aku juga ikutan kekeuh.

Sialan. Orang aku duluan yang jelas-jelas ada disini???!!!

Mas Pramuniaga kelihatan bingung.

Si bapak tukang serobot semakin menatap tajam ke mas pramuniaga. Sekilas, penampilannya lumayan seram sih. Badannya sedikit berisi, badannya tinggi, dan rahangnya terlihat keras. Agak wajar kalau respon mas pramuniaga sampai seperti itu.

Tapi bodo amat 'kan? Aku juga punya hak sebagai pembeli. Dan nggak sepatutnya pembeli yang sudah tertib mengantre, malah dicurangi.

"Ck," si bapak berdecak. "Berapa mas?" Dia nggak menghiraukanku.

Aku semakin nggak terima. Berani-beraninya lho dia?!?!? Dipikir aku ini akan takut dan mengalah?

"Saya buru-buru," tambah si bapak tukang serobot.

Excuse me? Buru-buru? Memangnya hanya dia yang boleh buru-buru? Terus, aku berdiri disini dan mengantre karena apa? Karena passion??

Di luar dugaan, mas pramuniaga menurut dan berbalik untuk mengambil sebungkus rokok yang dimaksud.

Aku benar-benar dibuat naik darah.

Aku benar-benar udah siap untuk menghardik dan memaki semua orang yang terlibat di kecurangan ini.

"Mas," tegur seseorang dari balik punggungku. Suara laki-laki.

Aku padahal udah hampir menggebrak meja kasir di depanku.

9096 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang