3

17.3K 1.9K 84
                                    

Aku duduk di sofa ruang keluarga hampir 30 menit lamanya. Nungguin Mama doang yang dandan nggak kelar-kelar.

Katanya selepas magrib, langsung berangkat untuk pergi ke rumah bu Adimas. Yang ada, beliau baru saja selesai beberes dan pergi mandi.

Mana aku nggak bisa pergi lama-lama. Pasti kepikiran materi presentasiku yang belum maksimal.

Sesaat kemudian, aku mendengar suara pintu rumah dibuka. Nggak ada salam. Tapi, aku mendengar derap langkah menuju ruang keluarga. Derap langkah yang kayaknya bukan cuma dari satu orang.

Benar saja. Munculah Seruni yang baru saja pulang. Ditemani Nawasena di sebelahnya.

"Dari perjalanan jauh nih kayaknya." Celetukku. "Nggak ada oleh-oleh gitu?"

Mereka berdua perginya lama banget.

Nawasena dan Seruni saling berpandangan. "Ada. Nanti." Kata Nawasena, kemudian duduk di sofa seberangku.

"Papa sama Mama mana, mbak?"

"Papa lagi solat. Mama lagi dandan. Mau tilik bayi." Jawabku.

Seruni tampak tertegun di posisinya. Dia masih berdiri. "Bayi siapa?" Katanya sedikit terbata.

"Mbak Wulan tetangga kita dulu di Griya Asri, anaknya bu Adimas. Dia habis lahiran."

Nawasena dan Seruni sama-sama meng-oh.

"Kalian udah makan belum?" Tanyaku. Spontan aja. Soalnya berdua ini kelihatan lemes. Kayak belum makan berhari-hari.

"Nanti aja," jawab Nawasena.

Aku pun memutuskan untuk kembali melanjutkan aktifitasku sebelumnya; main Candy Crush sambil menunggu Mama selesai dandan.

***

Entah bagaimana, Mama dan aku jadi membatalkan niat pergi kami untuk tilik bayi, dan justru duduk bersama-sama di ruang keluarga. Begitu juga Papa yang habis selesai solat, langsung diajak juga untuk duduk disini.

Saat ini, kami semua sudah duduk melingkar di sofa ruang keluarga. Nawasena di sebelah Seruni. Mama di sebelahku. Dan Papa berada di sofa tengah untuk dirinya sendiri.

"Ada apa, Runi?" Tanya Mama saat menyadari suasana di ruangan ini jadi senyap.

Tadi, saat aku dan sejoli ini bersama, kami sempat berbincang. Tapi, saat Mama datang, kami masih ngobrol, hanya saja Seruni lebih banyak diam. Ditambah, saat Papa datang, aku jadi seperti ngomong sendiri karena baik Nawasena, mau pun Seruni, mereka sama-sama terdiam.

"Jadi begini.. saya dan Seruni mau membicarakan sesuatu kepada om, dan tante.." Nawasena membuka obrolan.

Hening.

Kedua sejoli itu justru saling pandang. Nggak kunjung membuka suara.

Mereka berdua, kenapa sih?

"Seruni.." panggilku. "Ada apa? Bilang aja.." dorongku. Aku nggak mau waktuku terbuang sia-sia hanya untuk melihat mereka saling adu diam.

"Jadi gini, om.. tante.." Nawasena menghela nafas. "Saya dan Seruni mohon izin untuk menikah."

Deg.

Seharusnya aku nggak perlu kaget saat mereka meminta izin untuk menikah. Mereka sudah menjalin hubungan cukup lama, mungkin memang sudah saatnya. Hanya saja, apakah harus tiba-tiba seperti ini? Dan apakah orang tua Nawasena sudah tahu?

Seketika, aku menengok ekspresi Mama dan Papa. Mereka berdua masih tampak tenang di posisinya.

Nawasena melanjutkan, "Kalau bisa, kami akan menikah di bulan depan."

9096 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang