11

14K 1.6K 36
                                    

Nggak lapar saat siang hari adalah petaka di malam hari.

Jam dinding kamaraku udah menunjukkan hampir pukul 12 malam, dan aku laper banget!

Aku ngantuk dan ingin segera tidur. Tapi, aku nggak akan bisa tidur nyenyak kalau kelaparan seperti ini.

Ah, tiba-tiba kepikiran mie kuah dengan cabe rawit dua biji lagi. Ditambah telur setengah matang, dan serpihan nori di atasnya.

Argh. Stop.

Aku harus bangkit dari ranjang, pergi ke bawah, dan mewujudkannya!

Perlahan, aku melangkah keluar dari kamar. Dengan langkah sedikit berjinjit, aku menuruni tangga untuk menuju dapur.

Di luar dugaan, saat aku udah sampai di anak tangga terakhir, aku menemukan seberkas bayangan dari ruang TV. Ketika aku mencoba untuk mengintip, ternyata ada seseorang yang saat ini berdiri membelakangiku.

Aku tertegun sesaat begitu menyadari siapa seseorang itu.

Papa.

Beliau sedang nggak ngapa-ngapain selain memandang keluar jendela.

Padahal di luar sangat gelap. Entah, apa yang sedang dipandangi Papa.

Sejurus kemudian, aku melihat sebatang rokok yang baru saja disematkan Papa ke mulutnya. Asap mengembus dan keluar menuju celah jendela yang sedikit dibuka.

Sebenarnya, aku bisa saja langsung berlalu ke dapur seolah nggak melihat apa-apa. Tapi, pemandangan yang ada di depanku saat ini, justru membuatku terpaku di ujung ruangan; mengamati Papa yang entah sedang memikirkan apa.

Bisa ku katakan bahwa semenjak terungkapnya kehamilan Seruni, Papa lebih banyak diam. Beliau yang biasanya sering duduk berdua dengan Mama di sore hari pun, kini terlihat lebih banyak sendiri.

Belum ada dua minggu semenjak kabar tentang kehamilan Seruni, tapi aku udah benar-benar merasa sedikit asing dengan Papa.

Aku sayang dengan Papa.

Terlepas dari cara dan pola didiknya untuk merawatku dan Seruni, beliau adalah laki-laki pertama yang aku sayangi. Aku yakin dan membenarkan bahwa cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya.

Papa jarang mengungkapkan rasa sayang kepada anak-anaknya.

Papa juga jarang bersikap manis di hadapanku dan Seruni.

Tapi, aku berani bersumpah bahwa Papa selalu memberikan yang terbaik untuk aku dan Seruni. Apa pun itu akan dilakukannya demi hidupku dan Seruni.

Sejak kecil, aku udah hidup dengan segala macam peraturan yang dibuat oleh Papa. Dari bangun tidur, sampai kembali tidur lagi, nggak ada yang nggak Papa atur. Sejujurnya, aku nggak pernah merasa terkekang dengan cara Papa menjaga dan merawatku. I believed he did it all to remind me that I am so valuable, worthy, and created for a purpose. Udah itu aja.

Papa orang yang benar-benar sederhana. Membuatnya bahagia pun nggak susah. Sesederhana aku memahami dan mematuhi apa yang dikehendakinya.

Tapi..

Aku minta maaf karena belum bisa memahami Papa untuk saat ini. Papa benar-benar terasa jauh dan sulit untuk aku gapai; seperti ada sebuah dinding besar di antara kami.

Aku menghela nafasku dengan berat. Rasa lapar tadi seketika hilang saat melihat Papa merenung seperti ini.

Sebenarnya, apa yang sedang dipikirkannya?

Aku sempat ragu. Tapi, kalau nggak ada yang memulai, nggak akan ada juga yang mengakhiri.

Baiklah. Mungkin, ini waktunya kami bicara.

9096 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang