15

13.5K 1.7K 88
                                    

Siang ini, di hari libur sebuah tanggal merah, aku mengajak Arga untuk bertemu di cafe milik Gemi seperti biasa.

Aku bilang kepadanya bahwa ada yang ingin aku sampaikan.

Nggak, aku juga nggak mau diolok-olok Gemi. Aku berani mengajak Arga untuk bertemu di cafe milik Gemi karena hari ini, Gemi sedang melakukan survey lokasi untuk cabang baru cafe-nya. Tapi, setahu Arga, Gemi ada dan kami akan kumpul bertiga.

Kenapa nggak di tempat lain?

Aku menghindari persepsi aneh-aneh yang bisa jadi timbul di benak Arga kalau kami janjian bertemu, berdua doang, tanpa Gemi, di tempat lain. Asli deh, karena kemana-mana selalu bertiga, di tempat yang sama setiap saat, akan jadi sangat aneh kalau kami tiba-tiba bertemu berdua doang.

Aku kembali membuka menu browser di handphoneku.

History pencarian terakhir browser di handphone Arawinda; bagaimana jika perempuan melamar laki-laki?

Iya, seorang Arawinda akan melamar duluan seorang laki-laki. Kalian nggak salah baca.

Tapi, bukannya menemukan titik terang karena udah jelas terjawab, aku justru semakin frustrasi karena menemukan fakta bahwa itu sah-sah saja. Ah, nyaliku saja yang nggak ada.

Oke, sekarang mari pikirkan segala kemungkinan yang ada kalau aku benar-benar menyatakan perasaan dan niatku kepada Arga.

Kemungkinan pertama; Arga menolaknya.

Selain kehilangan harga diri, sepertinya aku juga akan kehilangan pertemanan kami. Ya, kalau semisal nggak sampai merenggut pertemanan kami, orang macam apa sih yang masih bisa berteman dengan orang yang tiba-tiba melamarnya terus ditolak?

Tapi, kalau semisal ditolak, apa ya kira-kira alasan Arga?

Apakah dia dekat dengan seseorang atau sebenarnya udah punya pacar? Setahuku sih nggak, karena selama ini kalau aku perhatikan, kegiatannya selain bekerja, ya hanya kumpul denganku dan Gemi.

Apakah dia belum siap untuk menikah? Ya, dari segi mental mau pun finansial. Jujur, alasan ini lebih masuk akal karena, ya, sekali lagi, kami berdua seumuran. Kalau nggak dipaksa untuk menikah pun juga aku aslinya nggak mau. Belum siap menikah kok dipaksa.

Atau..

The worst reason adalah..

Apakah sebenarnya Arga itu gay? He he he ngawur. Ini adalah alasan paling out of the box, sih. Di sisi lain, mantan pacarnya zaman SMA dulu cantik-cantik woy. Oke, kemungkinan ini, singkirkan.

Apa lagi, ya?

Baik lah. Saatnya beralih ke kemungkinan kedua.

Bagaimana jika Arga menerimanya?

Teorinya, aku akan sangat bahagia. I am gonna marry my bestfriend!

Tapi, perasaan aneh macam apa ya ini?

Perasaan yang tiba-tiba muncul saat aku membayangkan Arga menerima lamaranku.

Perasaan ini.. apakah ini rasa khawatir?

Apakah persepsiku selama ini tentang Arga dapat membantuku melewati ini semua, termasuk menikah atas kehendak Mama dan Papa?

Apakah aku memilihnya dan melakukan ini karena perasaanku yang sesungguhnya?

Do I really into him?

Aku kembali termenung.

Yang aku rasakan sampai sejauh ini, benarkah sedalam itu sampai saat diberikan kesempatan untuk memilih laki-laki pilihan, aku langsung memikirkannya?

9096 (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang