Di sore buta seperti ini, Jingga baru saja bangun dari tidurnya. Saat ia melirik jam dinding, ternyata sudah menunjukan pukul lima sore. Astaga, jam sepertinya menertawai Jingga yang tertidur se-kebo itu.
Jingga mengucek matanya untuk menetralisirkan semuanya yang terasa masih buram. Setelahnya ia mencepol rambutnya sembarang.
Jingga beranjak mengambil ponselnya yang masih berada di dalam tas. Ia membukanya, berharap akan ada pesan dari El, mengingat kemarin cowok itu mengesave nomornya sendiri. Menyebalkan memang.Lelaki itu sudah seharian ini tidak ada kabar. Tetapi El tidak mengiriminya pesan, ia kira, El memberikan nomornya untuk memberikan kabar, seperti kebanyakan pasangan lainnya. Tapi tidak.
Seharusnya El sudah berada di apartemennya, tapi mengapa lelaki itu tidak mengirimi pesan? Atau El memang sudah tau jika kemarin ia pergi bersama Alhesa.
Jingga berdecak kesal. Sial, kenapa ia jadi kepikiran Elzaska terus? Apa ia kini sudah sangat mencintai lelaki itu? Lelaki yang menjadikannya kekasih hanya karena rasa bersalah.
"Jingga! Ini salah lo sendiri, kenapa kemarin lo mau di ajak makan bareng sama Alhesa? Harusnya lo tolak aja, lo kan tau El gak suka sama Alhesa!" Jingga merutuki dirinya sendiri, sembari mengaca, kemudian kembali menjatuhkan diri di atas kasur.
"Tapi 'kan gue juga gak tau, kalo gue makan sama Alhesa bakalan se-viral ini," Sambung Jingga masih kesal sendiri rasanya.
"Astaga, sumpah ya, ini gimana kalo El marah ke gue, ck, sialan!"
Jingga terus menatap layar ponselnya. Haruskah ia mengirimi pesan pada El? Tapi ia gengsi, masa iya Jingga harus mengirimi pesan lelaki itu.
Sayang, kamu lagi apa?
Sayang, kamu kok gak masuk sekolah?
Hai, sayang.
Sayang, kamu udah makan belum?
Sayang, kamu sakit ya?
Jingga geli sendiri rasanya saat ia memikirkan pesan apa yang harus ia kirimkan pada El.
Bahkan sampai jam tujuh malam, El belum juga mengiriminya pesan. Sialan, kenapa ia uring-uringan hanya karena El seharian tidak ada kabar?
Mengabaikan hal itu, Jingga meletakan ponselnya cukup keras. Bodo amat jika ia terus di cuekin El, mungkin ia bisa menjelaskannya secara langsung esok. Entahlah, ego Jingga terlalu besar hanya untuk sekedar mengirimi El pesan singkat.
Dengan menguap lebar, Jingga membuka pintu kamarnya. Gadis itu masih menggunakan kaos oblong, oversize yang justru terlihat seperti daster polos, dengan rambut yang di cepol sembarangan.
Betapa terkejutnya Jingga saat mendapati dua sahabatnya berdiri di depan pintu. Saat Jingga keluar, kedua sahabatnya itu langsung memeluk Jingga.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELZASKA
Teen FictionMalam merambat lambat, netra selegam jelaga itu kembali membuyarkan lamunan malam, seolah tak ingin pergi barang sedetikpun dari dalam ingatan. Manik gadis itu menatap langit yang penuh dengan konstelasi bintang yang nampak membentuk konfigurasi ber...