Hello moods, happy reading semoga gak shok baca chapter ini yah. Buat yang lupa alur bisa baca ulang. Ayo spammmm yang banyak biar rutin up.💋💋💋
***
"Jadi waktu itu..." ucapan Nanda tersenggal saat ia tidak kuasa mengatakan apa yang menimpanya malam itu, rasanya begitu menyakitkan jika akan diceritakan kembali.
Ica memegang pundak Nanda kemudian perlahan mencengkeramnya, ia geram sebab gadis dihadapannya itu terus saja diam seolah menjadi patung.
"Ceritain cepet, kita gak punya banyak waktu buat dengerin cerita lo yang belum tentu bener itu!" bentak Ica.
Nanda memejamkan mata, membuat genangan air mata yang sedari tadi berada di pelupuk mata, kini jatuh menetes hingga ke pipi. Kemudian ia mulai mengingat kejadian pada waktu itu, kejadian yang tidak ingin ia ingat kembali itu, pada hari ini terpaksa harus ia ingat kembali.
Flashback
Jam menunjukan pukul dua siang, mentari pada saat itu terasa begitu panas bahkan rasanya hampir membakar tubuh. Nanda melirik jam dinding yang berada pada dinding rumah sakit tempat ibunya di rawat. Ia memejamkan mata, menutup telinga kemudian berangsur lunglai di lantai rumah sakit dengan perasaan yang berkecambuk.
Ibunya mengidap kanker rahim yang membuatnya harus dirawat, bahkan hari esok, ibunya harus melakukan operasi yang membutuhkan biaya tidak murah, dan Nanda tidak tau ia akan mendapatkan uang puluhan juta itu dari mana.
Saat itu, gadis 16 tahun itu berusaha menghubungi Jingga-sahabatnya, berharap Jingga bisa membatu meminjaminya uang, sebab ia tidak tau lagi harus mencari uang dari mana, Ayahnya juga sudah tiada sejak tiga tahun lalu, dan Nanda tidak mau Ibunya ikut meninggalkannya seperti Ayahnya dulu. Namun Jingga tidak kunjung mengangkat telepon atau bahkan membalas chat darinya. Bahkan Jingga hampir dua minggu tidak masuk sekolah.
Aneh, pikir Nanda sebab tidak biasanya Jingga menghilang tanpa kabar seperti ini.
Nanda tidak menyerah sampai disitu saja, ia mencoba menelpon nomor rumah Jingga, siapa tau temannya itu mengangkat telepon darinya.
Lama Nanda menunggu, akhirnya telepon rumah itu memberikan tanda-tanda akan jawaban. Nanda tersenyum lega dan Nanda yakin jika yang mengangkat telepon darinya adalah Jingga.
"Hallo, Jingga, gue Nanda. Maaf gue ganggu lo, tapi tolong gue, Ibu gue masuk rumah sakit dan besok harus di operasi, sedangkan gue gak ada uang sama sekali, lo bisa bantu gue? Maaf banget kalau gue ngerepotin lo... tapi, gue bener-bener gak tau lagi mau nyari uang kemana, hiks..."
"Em, hallo?"
Nanda mematung saat mendengar suara bariton dari seorang lelaki, itu suara yang tidak asing baginya, iya itu suara Papah Jingga.
"Nanda, berapa uang yang kamu butuhkan?" tanya Papah Jingga dari seberang sana.
Nanda gugup, ia tidak mungkin meminta tolong pada keluarga Jingga apalagi Papahnya, sebab ia tahu bagaimana keluarga Jingga yang tidak harmonis. "E-enggak, om. Sa-saya enggak butuh uang kok, saya cuma mau nyari Jingga, dia udah lama gak masuk sekolah kemana ya om?"
"Anak itu memang hanya bisa menyusahkan, saya juga tidak tahu dia kemana."
Dalam benak Nanda mempunyai banyak pertanyaan salah satunya 'kemana Jingga?', namun ia tidak mungkin bertanya pada Papahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELZASKA
Teen FictionMalam merambat lambat, netra selegam jelaga itu kembali membuyarkan lamunan malam, seolah tak ingin pergi barang sedetikpun dari dalam ingatan. Manik gadis itu menatap langit yang penuh dengan konstelasi bintang yang nampak membentuk konfigurasi ber...