Bagian 21

190 26 7
                                    

Hari pertama Gabriel berada di Indonesia. Ia bertemu dengan Keenan, sepupu Federick yang berprofesi sebagai dokter di salah satu rumah sakit. Keenan lelaki dengan iris mata hitam dan alis tebal. Hidungnya menjulang tinggi dan ada kumis tipis di atas bibir. Lelaki itu menyapa Gabriel ketika mereka bertemu di bandara. "Are you Gabriel?" tanyanya. Ada kacamata bundar di wajahnya. Dengan kelopak mata yang agak kecil, Keenan menarik senyum hingga matanya terlihat lebih menyipit lagi.

"Oh, yes. I'm Gabriel," balas Gabriel dengan jabatan tangan tegas. "Are you Keenan?"

Keenan mengangguk. Ia mempersilakan Gabriel untuk melangkah lebih dulu. Tetapi akhirnya mereka melangkah beriringan. Seolah mereka teman lama, Gabriel langsung akrab kepada Keenan yang saat itu yang bahkan masih mengenakan seragam kerja. Keenan mengenalkan beberapa hal kepada Gabriel. Hingga mereka melangkah masuk ke sebuah taksi dan meluncur pergi dari sana. Keenan bahkan tidak perlu repot membawa kopernya, sebab ia sudah menyewa orang lain untuk mengantarkannya ke alamat apartemennya nanti.

"Jakarta sangat luas, Gabriel. Kau harus tahu lebih jelas perempuan itu tinggal di mana," kata Keenan kepada Gabriel. Dan ya, Gabriel juga sudah memikirkan hal itu. Seperti halnya dengan kota-kota yang ada di Australia. Jakarta tentu juga luas sehingga kita akan sulit mencari seseorang tanpa tahu alamatnya.

"Aku berusaha untuk tidak menanyakan kabar kepadanya langsung. Aku ingin membuat sebuah kejutan." Gabriel menggerakkan tangannya, lalu meraih selembar kertas yang bertuliskan alamat. "Aku mendapatkannya dari teman wanita itu." Ia mengedikkan dagu sambil lalu.

Keenan mengangguk, ia meraih kertas yang diberikan oleh Gabriel. "Baiklah. Aku tahu alamat ini," katanya. "Dan sekarang, apakah kau sudah memesan apartemen di sekitar sini?"

"Sudah." Gabriel mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana, lalu berkata, "Apakah kau tidak ingin makan malam?" Ia memang tiba di Indonesia pukul tujuh malam. Mungkin Keenan juga baru saja pulang bekerja. Sebab lelaki itu masih mengenakan seragam dokter dan terlihat kelelahan.

"Baiklah. Kita pergi ke restoran sekarang." Keenan lalu berbicara kepada supir yang mengemudi, dalam bahasa Indonesia yang tidak Gabriel mengerti. Lelaki itu hanya tahu beberapa kosa kata saja. "Tetapi, Gabriel, aku tidak bisa mengantarkanmu sampai ke apartemen. Aku harus kembali ke rumah sakit, karena kebetulan malam ini aku ada jadwal mengawas."

"Maaf sekali kalau begitu. Aku pasti sudah menyita waktumu."

"Bukan masalah." Keenan tersenyum. "Dan kau juga tidak perlu sungkan untuk datang ke rumahku. Kita bisa berteman dengan baik seperti halnya kau dengan Federick?"

"Tentu." Gabriel mengangguk yakin.

Mereka sampai di restoran yang dicarikan oleh Keenan, tentu saja dengan segala pertimbangan agar lidah lelaki di sebelahnya bisa menikmati menu makanan. Ketika pelayan melangkah ke arah mereka, Keenan segera memerankan beberapa menu setelah bertanya kepada Gabriel ingin memakan apa. Seraya menunggu pesanan datang, mereka pun mengobrol banyak hal. Hingga ... seorang wanita dengan dress hitam selutut melangkah melewati meja mereka, dengan seorang gadis kecil di sebelahnya, yang disapa oleh Keenan dengan hangat.

"Hai, Anggya?" Keenan bahkan berdiri. Terlihat jelas bahwa lelaki itu seolah menaruh perasaan kepada wanita di depan mereka. Bahkan senyum Keenan terlihat mengembang dengan sempurna.

"Oh hai, Keenan?" Anggya, wanita itu menatap ke arah Keenan dengan bola mata berbinar. Lalu meminta gadis kecil di sebelah dirinya untuk bersalaman. "Apa kabar?"

"Alhamdulillah baik." Keenan terlihat bahagia. Lalu ia menoleh ke arah Gabriel dan berbicara dalam bahasa Inggris. Mengatakan bahwa Anggya itu temannya.

Sekeping Luka di Melbourne (Sekuel Ketika Kau Hadirkan Dia) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang