Bagian 20

210 26 4
                                    

Brahma menemui Hara di depan butik sore itu ketika Hara baru saja keluar dari sana. Sementara para karyawannya, yang melihat kedatangan Brahma di butik sore itu, terdengar berbisik-bisik. Mungkin mereka merasa takjub dengan usaha Brahma yang pantang menyerah. Butik memang suka akan tutup sebentar lagi dan para karyawannya sedang berkemas. Hara sendiri harus pulang lebih dulu karena ibunya meminta di antar pergi membeli beberapa kue untuk dibawa ke rumah paman Hara yang berada di Bandung. Besok akan ada acara lamaran di sana.

"Assalamu'alaikum, Ra? Senang bisa bertemu denganmu lagi di sini." Brahma menekan kata di sini dengan kuat. Seolah-olah ada makna lain dalam kata itu. "Bisa kita mengobrol sebentar, Ra? Sudah lama tidak bertemu denganmu."

"Wa'alaikumsalam. Maaf, Brahma. Aku sedang buru-buru." Hara tersenyum sopan. Meminta pengertian kepada lelaki itu.

"Mau pergi?" Brahma balas tersenyum. "Biar aku antar ya, Ra?" tawarnya kemudian. Terkesan begitu bersemangat.

Sementara para karyawan yang sudah hampir selesai berkemas kini menatap mereka dari dalam. Seolah sedang menonton film Drama Korea saja! Gratis pula!

"Aku bisa pergi sendiri, Brahma." Hara menggeleng, lalu ia tersenyum sopan sekali lagi kepada Brahma sebelum melangkah ke halte dan menunggu taksi di sana. Membuat penontonnya yang setia mendesah kecewa.

Mereka tersenyum ketika Brahma melambai singkat. Lalu lelaki itu bergegas melangkah menghampiri Hara menuju halte, meninggalkan mobilnya yang terparkir di depan butik. "Aku bisa mengantarkanmu, Ra.  Ayolah, bukankah kita ini teman?" Ia masih berusaha keras.

"Aku bisa pergi sendiri, Brahma. Terima kasih banyak untuk tawaranmu. Aku sangat menghargainya." Hara masih bertahan dengan pendiriannya. Lagipula ia tidak ingin terlibat perasaan lagi dengan lelaki mana pun dulu. Sudah cukup. Ia hanya perlu sendiri untuk menata hatinya yang masih belum sepenuhnya tersusun rapi. Ia tidak butuh bantuan orang lain.

"Kau yakin, Ra?" Brahma masih saja berusaha.

"Brahma?" kata Hara, ia bahkan mendesah lelah. Ketika itu sebuah taksi melintas di depannya, Hara segera memberhentikan. "Terima kasih untuk tawaranmu, tapi aku akan pergi sendiri." Lalu ia masuk ke sana. Meninggalkan Brahma yang masih mematung di tempat dan menatap ke arahnya.

Hara mengembuskan napas lelah. Ia ingin sekali para lelaki itu berhenti untuk mengganggu dirinya. Sekarang ia sudah terlepas dari Gabriel, tetapi kembali bertemu dengan Brahma. Melelahkan sekali rasanya. Seandainya Mas Dzakki masih hidup. Seandainya lelaki itu masih ada di sampingnya sekarang  ... Astagfirullah! Hara segera beristighfar dalam hati. Ia tidak boleh seperti ini. Semua memang sudah kehendak Allah SWT. Ia tidak boleh terus mengeluh!

Terdengar bunyi ponsel dari dalam tasnya. Hara melihat nama ibunya yang berada di layar. "Assalamu'alaikum, Bunda," katanya. Ia mulai berpikir apakah dulu ibunya juga disukai oleh banyak lelaki? "Tunggu sebentar ya, Bunda. Aku masih di taksi. Mungkin beberapa menit lagi akan sampai ke rumah."

"Wa'alaikumsalam. Iya, Sayang. Bunda tunggu, ya?"

Setelah panggilan itu berakhir, Hara memasukkan kembali ponsel ke tas. Ia tidak menemukan tanda-tanda pesan apa pun dari Gabriel. Juga tidak ada telepon dari lelaki itu. Mendadak ia kepikiran apakah Gabriel serius akan datang menyusul dirinya di Jakarta? Lelaki kutub es itu memang aneh kalau dipikir-pikir. Gabriel sewaktu-waktu begitu dingin, datar dan terkesan tidak punya hati. Tetapi dilain waktu lelaki itu bisa terlihat begitu manis. Aneh sekali.

Oh, Astaghfirullah!

Untuk kedua kalinya Hara beristighfar. Otaknya benar-benar sudah tidak sinkron sepertinya. Sehingga sering kali memikirkan hal yang seharusnya tidak ia pikiran. Hara menepuk bahu Pak Supir dan berkata, "Saya turun di depan saja, Pak."

Sekeping Luka di Melbourne (Sekuel Ketika Kau Hadirkan Dia) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang