"Sekeping Luka Di Melbourne"
Sekuel Ketika Kau Hadirkan DiaBab Empat Puluh
***Berada satu kamar dengan Gabriel membuat Hara menjadi canggung. Entah bagaimana degup jantungnya sekarang, Hara tidak sanggup untuk mendeskripsikannya. Wanita itu duduk di sisi kasur, sibuk mengatur degup jantungnya sendiri seraya berpura-pura membetulkan jilbab. Sementara Gabriel, lelaki itu masih berada di kamar mandi sejak tadi. Entah apa yang dilakukannya.
Baru Hara ingin pergi keluar dari kamar, tiba-tiba Gabriel memanggilnya, "Nona, kau ingin ke mana?" Berhasil membuat Hara pun berhenti melangkah. Lantas membalikan tubuh dengan pelan dan meringis menatap suaminya yang baru saja selesai mandi, sepertinya. Karena rambut lelaki itu tampak basah. Dengan kondisi seperti itu, Gabriel malah terlihat semakin tampan. Hara lantas mengerang pelan, ia memejamkan kelopak matanya. Benar-benar pemandangan yang tidak siap untuk ia lihat sekarang.
"Aku ... ngh, aku ingin keluar," kata Hara dengan nada pelan. Ia menggigit bibirnya. Mengapa malah menjadi gugup sekali?
Gabriel tersenyum kecil. Melihat kelakuan istrinya. "Apa kau tidak ingin ..." tanya Gabriel seraya melangkah menghampiri Hara. Wanita di depannya tersentak, lalu mengerjap. Setelahnya, melotot pelan. Gabriel menatap istrinya dengan bingung. "Aku ingin makan, Nona. Aku sangat lapar," sambung lelaki itu dengan wajah tanpa dosa.
Hara membulatkan mulutnya. Lalu meringis pelan. "Baiklah. Ayo kita makan," katanya, yang dengan cepat membalikan tubuh. Ia yakin sekali kalau wajahnya pasti merah padam sekarang. Benar-benar memalukan.
Gabriel menyusulnya di belakang. Diam-diam lelaki itu tersenyum geli. Mengapa istrinya begitu menggemaskan? Gabriel mengamati langkah kaki Hara yang begitu terkesan terburu-buru. Meskipun hanya akan sia-sia karena langkah kaki wanita itu terlalu kecil jika dibandingkan dengan langkah kakinya.
Hingga akhirnya mereka sampai di ruang makan. Ruangan yang terlalu luas untuk diisi hanya dua orang saja. Namun, karena yang lain sepertinya sudah beristirahat di kamar masing-masing, maka Gabriel dan Hara pun hanya akan menikmati makan malam berdua sekarang. Meskipun rasanya Hara sangat lelah, tetapi ia harus tetap menemani sang suami untuk menikmati makanan.
Ia memang hanya perlu menemani Gabriel makan saja karena semua hidangan segera disiapkan oleh para pelayan dengan begitu sigap. Ada steak dengan saus keju yang meleleh, sup ayam dengan banyak potongan wortel, chicken katsu yang terlihat begitu menggoda, the lot dengan topping telur setengah matang, serta kue-kue manis seperti; pavlova, vegemite, lamington dan meat pie. Juga ada minuman ice maple latte dan flat white dengan hiasan ceri di atasnya. Padahal mereka hanya makan berdua. Mengapa hidangannya harus sebanyak ini?
"Kau yakin bisa menghabiskan ini semua?" tanya Hara ketika ia mulai menggiris daging steaknya. Melihat begitu banyak makanan saja sudah membuat perutnya menjadi kenyang. Mana mungkin ia bisa jika disuruh untuk menghabiskannya. "Aku rasa sebaiknya kita jangan berlebihan lagi untuk menu makan selanjutnya. Maksudku, kau tahu bukan bahwa di luar sana ada banyak sekali orang yang tidak bisa mendapatkan makanan karena tidak memiliki uang?" Hara tentu mengatakan hal itu dengan penuh hati-hati. Takut Gabriel akan tersinggung.
Gabriel mengangguk-angguk. "Baik, Nona," katanya dengan nada santai. Lelaki itu sudah mulai asyik menikmati sup ayam dan chicken katsu, lalu tersenyum kepada istrinya.
Hara ikut mengangguk pelan. Sekarang sudah pukul sebelas malam. Ia seharusnya tidak makan. Namun, apalah daya, sekali lagi ia harus menemaninya suaminya yang tengah kelaparan. Mungkin Gabriel memang belum makan sejak tadi pagi? Entahlah, biasanya lelaki itu memang jarang terlihat bergabung di meja makan. Lebih sering meraih cangkir berisi kopi, menyesapnya sebentar, lalu pergi setelah meraih tas kerjanya. Kehidupan lelaki itu terlihat terlalu sibuk dengan pekerjaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Luka di Melbourne (Sekuel Ketika Kau Hadirkan Dia)
RomanceKematian suaminya ... hal paling menyakitkan sepanjang hidup Hara Azzahra. Sebab dia telah kehilangan separuh hatinya. Seolah semua harapannya hancur. Sekarang, dia hanya bisa hidup dengan diliputi ketakutan akan harapan. Hingga takdir membawanya p...