"Sekeping Luka Di Melbourne"
Sekuel Ketika Kau Hadirkan DiaBab Dua Puluh Delapan
***Suasana malam itu sama seperti biasanya. Hara baru selesai melakukan salat Isya ketika Ibu memanggilnya dan meminta ia untuk keluar dari kamar. Hara meraih jilbab yang berada di atas kasur, lalu memakainya. Ia keluar dari kamar dan menuruni anak tangga tanpa ada firasat apa pun. Namun, ketika menyadari apa yang sedang terjadi, ia merasa seolah de javu sampai harus menepuk pipinya sendiri dengan pelan.
Gabriel tengah berada di sana, duduk bersebelahan dengan ayahnya yang tampak mengukir senyum penuh. Hara yang sudah berada di ujung tangga baru menyadari kalau jemarinya belum mengenakan cincin sehingga ia memutuskan untuk berbalik. Tetapi ayahnya menegur pelan.
"Ada yang tertinggal, Ayah. Sebentar," katanya. Semoga saja Gabriel nanti tidak menyadari tingkah konyolnya ini. Hara melangkah masuk kembali ke dalam kamar, lalu menarik laci dan meraih sebuah kotak merah. Ia mengeluarkan cincin itu dan tersenyum. Setelah mengembuskan napas pelan, Hara memutuskan untuk memakai cincin itu ke jemarinya. Seraya berharap semoga keputusan yang diambil ini memang tepat. Dan semoga saja Tuan Asing itu tidak besar kepala!
Setelah mengembuskan napas sekali lagi, ia memutuskan untuk melangkah ke luar dari kamar. Dengan degup jantung yang semakin tidak beraturan, rasanya gugup sekali. Ia bahkan berharap semoga saja kepalanya tidak terserang migrain mendadak dan kakinya tidak berubah menjadi jel begitu berhasil berdiri di dekat mereka.
Ibunya memasang senyum penuh ketika melihat Hara, sementara ayahnya baru saja selesai menyeruput kopi. Lalu meminta Gabriel untuk melakukan hal yang sama. Hara menundukkan kepala dan meringis pelan, bahkan ia memilin jemarinya sendiri. Demi mengurangi rasa gugup yang dengan cepat menyerang dirinya. Ia bahkan kini mengembuskan napas berkali-kali dan terus berdoa dalam hati. Ya Allah padahal ia sudah bukan seorang gadis lagi dan sudah pernah mengalami hal ini. Mengapa masih harus gugup?
Gabriel terlihat begitu tampan malam itu, meskipun hanya memakai kemeja kasual dengan potongan bagus. Rambutnya tersisir dengan rapi. Ia memang tampak selalu menawan setiap harinya. Dan dengan wajah polosnya lelaki itu malah terus memandang ke arahnya, apakah ia tidak tahu kalau Hara bisa saja pingsan mendadak sekarang?
"Assalamu'alaikum," sapa Gabriel dengan suara yang entah kenapa terdengar begitu sopan di telinga Hara.
Lelaki itu menyunggingkan senyum dengan penuh. Atau ... ia sudah melihat cincin yang tersemat di jemari Hara? Dengan cepat Hara pun menyembunyikan jemarinya.
"Wa'alaikumussalam," jawabnya dengan nada yang sebisa mungkin ia buat datar. "Kupikir kau hanya bercanda akan datang ke sini." Ia sudah cukup dewasa sehingga memberanikan diri untuk berkata demikian, terlebih di depan kedua orang tuanya. Tetapi, setelahnya ia berdeham pelan. Tetap saja rasanya gugup.
Gabriel hanya tersenyum, lalu beliau memandang ke arah ayah Hara dengan wajah sopan yang dibuat-buat. Karena Hara yakin dibalik senyum tipis penuh wibawa itu sebenarnya Gabriel tengah menertawakan dirinya. Awas saja nanti!
"Baik, Tuan dan Nyonya." Gabriel mulai berbicara. Anehnya jantung Hara yang semakin menggila. "Saya ingin mengatakan bahwa kedatangan saya ke sini untuk melamar putri kalian yakni Nona Hara. Jika kalian bersedia untuk menerima lamaran ini, maka tentu saya akan merasa sangat berterima kasih."
Dasar lelaki Australia yang aneh! Mengapa terkesan begitu formal sekali cara melamarnya?
Ayah tersenyum, lalu berdeham pelan. "Baik anak muda. Saya dan istri saya sudah sepakat akan menyerahkan semua keputusan kepada putri kami sendiri, yaitu Hara." Ayah menatap Hara sekilas, lalu kembali ke arah Gabriel. "Silakan saja kamu bertanya langsung kepadanya. Keputusan kami ada pada pilihannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Luka di Melbourne (Sekuel Ketika Kau Hadirkan Dia)
Storie d'amoreKematian suaminya ... hal paling menyakitkan sepanjang hidup Hara Azzahra. Sebab dia telah kehilangan separuh hatinya. Seolah semua harapannya hancur. Sekarang, dia hanya bisa hidup dengan diliputi ketakutan akan harapan. Hingga takdir membawanya p...