"Sekeping Luka Di Melbourne"
Sekuel Ketika Kau Hadirkan DiaBab Dua Puluh Sembilan
***Brahma datang pagi itu ke butik Hara dan memesan beberapa potong kemeja untuk para rekan kantornya. Mereka ada acara besar katanya. Hara tentu merasa senang karena itu berarti ia kebanjiran orderan. Dia meminta karyawannya untuk segera melayani Brahma yang kini duduk di sofa khusus pelanggan. Sebenarnya lelaki itu sejak tadi mengatakan ingin mengobrol dengan dirinya sebentar, tetapi Hara sedang sibuk karena Gabriel meneleponnya.
"Aku akan meminta para pelayanan untuk datang ke Indonesia dan menjemputmu, Nona," kata lelaki Australia itu dengan nada yang terkesan terburu-buru. Seolah ia sedang sibuk di ujung sana. "Kita akan pergi dengan helikopter pribadiku."
Mulut Hara terbuka lebar. Ia mengerjap pelan dan seketika entah kenapa otaknya lambat dalam merespon. "Tunggu dulu ... mengapa kau tidak mendiskusikan hal ini sebelumnya? Mengapa kau tidak bertanya lebih dulu kepadaku apakah aku siap untuk pergi ke Melbourne lagi?" Hara benar-benar tidak habis pikir dengan Gabriel. Bahkan ia belum mendiskusikan hal ini dengan orang tuanya. Apakah mereka mengizinkan dirinya untuk pergi lagi? Sebelum menikah?
"Aku tidak bisa menunda-nunda lagi, Nona." Gabriel terkesan memaksa. "Orang tuamu pun akan ikut ke Melbourne. Bagaimana?"
"Gabriel?" Hara masih tidak habis pikir dengan lelaki itu.
"Kau jangan khawatir dengan proyek masjid yang sedang kubangun. Semua akan tetap berjalan dengan lancar di sini."
Hara menghela napas lelah. Ia memilih duduk di kursi dan menyandarkan tubuh ke belakang. "Seharusnya kau membicarakan acara pernikahan kita dengan orang tuaku!" Ia tidak tahan lagi sekarang. Meskipun sebenarnya merasa agak malu harus berkata demikian. Namun, mau bagaimana lagi? Gabriel bukan tipe pria Asia yang mengerti cara-cara pernikahan di sini sepertinya.
Hening di ujung sana. Hara tidak tahu mungkin saja sekarang lelaki asing itu sedang memijat pelipisnya atau apa pun itu. Hingga akhirnya lelaki Australia itu kembali berbicara, "Bukankah mereka sudah setuju dengan hubungan kita?" tanyanya dengan nada heran. "Aku ingin kita menikah di Melbourne. Keluarga besarku sudah tidak sabar menunggu kedatangan kita. Bahkan kakek sudah menyewa gedung besar untuk acaranya."
Apakah lelaki itu sudah tidak waras? Hara mendadak ragu dengan keputusannya dalam memilih Gabriel untuk menjadi imamnya sekarang. Ia menghela napas dengan lelah. "Kau harus diskusikan hal ini dengan ayahku, Gabriel. Apakah kau mengerti?" katanya dengan nada tidak sabar. Mereka bahkan belum membicarakan mahar dan segala tetek-bengeknya. Dan apakah ada penghulu di sana?
"Baik. Baiklah, Nona. Aku akan datang lagi ke rumahmu hari ini." Lalu lelaki itu terdengar berbicara dengan seseorang. Ia memang sedang sibuk sepertinya. "Jangan lupa sarapan, ya." Itu kalimat terakhir Gabriel sebelum kemudian memutuskan sambungan.
Hara ingin pingsan sekarang rasanya. Tetapi tentu hal itu tidak terjadi karena masih banyak pekerjaan yang harus ia lakukan. Setelah memasukkan ponsel ke dalam tas, ia bergegas menghampiri Brahma yang ternyata masih menunggu dirinya di sana. Ditemani dengan sebuah majalah edisi terbaru yang memang Hara pesan setiap Minggu untuk para pelanggan yang datang.
"Maaf membuatmu menunggu lama." Hara segera duduk di sofa. Ia melihat Brahma yang melemparkan senyum kepadanya dan menaruh majalah ke meja. "Apakah pesanannya sudah dipersiapkan?" Ia bertanya seraya memandang sekitar. Mencari keberadaan para karyawannya. Takut sejak tadi Brahma hanya duduk saja dan tidak dilayani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Luka di Melbourne (Sekuel Ketika Kau Hadirkan Dia)
Roman d'amourKematian suaminya ... hal paling menyakitkan sepanjang hidup Hara Azzahra. Sebab dia telah kehilangan separuh hatinya. Seolah semua harapannya hancur. Sekarang, dia hanya bisa hidup dengan diliputi ketakutan akan harapan. Hingga takdir membawanya p...