Bab 24

1.6K 284 28
                                    


Ali baru saja ingin membunyikan suara klakson mobilnya namun Prilly sudah terlebih dahulu membuka pagar mungil rumahnya. Mereka memang berjanjian untuk berangkat bersama ke kantor meskipun atas usulan Reina tadi malam sebelum Ali mengantar Prilly dan Ibunya pulang.

Maksud dan tujuan Reina supaya keduanya semakin dekat jadi tidak canggung setelah mereka resmi menikah nanti.

"Udah sarapan kamu?" Tanya Ali begitu Prilly sudah memasang sabuk pengamannya.

Prilly menoleh lalu mengangguk pelan. "Udah. Bapak udah?" Ali menoleh lalu menggeleng pelan. "Nggak sempat." Jawabnya singkat padahal niatnya ingin mengajak Prilly sarapan bersama pagi ini tapi apa daya perempuan itu sudah terlebih dahulu sarapan.

Salahnya juga tidak memberitahu Prilly tadi malam tentang rencananya ini. Sudahlah, tidak apa-apa nanti saja Ali sarapan di kantor sendirian.

"Aku ada bawa bekal Bapak mau? Tapi makanannya kampu---"

"Saya mau!" Potong Ali sebelum Prilly melanjutkan perkataannya.

Ia sudah tahu apa yang akan Prilly katakan. "Tapi kamu suapi saya." Lanjutnya yang membuat Prilly membulatkan matanya. "Saya lagi nyetir kalau kamu nggak bisa liat." Sindir Ali sambil mengarahkan matanya kearah tangannya yang memegang setir mobil.

Prilly mendengus pelan namun tangannya mulai membuka kotak makanan yang disiapkan Ibunya tadi. Hanya ada nasi goreng serta telur mata sapi juga beberapa potong ikan asin yang ternyata cukup mengunggah selera Ali.

"Saya suka ikan asin." katanya yang membuat Prilly menoleh menatap dirinya dengan pandangan tak percaya. "Masak sih?" Ragu Prilly yang membuat Ali tersenyum kecil. "Beneran apalagi ikan asinnya dilumuri tepung dulu sebelum goreng makannya pakai nasi putih anget kalau nggak ada kuah sayur saya biasanya makan pakai minyak bekas goreng ikan asin itu." Cerita Ali yang membuat Prilly terkesima. Ternyata masih ada orang kaya seperti Ali yang hidupnya merakyat sekali.

"Kamu tahu kuah pliek u nggak?" Tanya Ali yang dijawab gelengan kepala oleh Prilly. "Dengernya sih pernah kuah sayur itu makanan khas dari Aceh kan?" Ali menganggukkan kepalanya membenarkan perkataan Prilly.

"Saya suka sayurnya pernah dulu saya makan pas ada pekerjaan di sana dan rasanya benar-benar enak."

"Tapi kayaknya cara masaknya susah gitu ya?"

"Nggak juga sih mungkin karena dimasak dalam kuali besar kesannya kayak bahan-bahannya itu banyak dan cara masaknya ribet. Ya memang nggak mudah tapi kalau kita mau belajar pasti bisa." Ali berbicara panjang lebar sebelum membuka mulutnya menerima suapan dari Prilly.

Prilly mengambil beberapa butir nasi yang berjatuhan di pangkuan Ali. Interaksi keduanya terlihat begitu natural tidak ada kesan terpaksa malahan keduanya terlihat seperti sudah berkenalan lama.

"Bapak lagi kode saya buat belajar masak sayur khas dari Aceh itu ya?" Mata Prilly memicing curiga menatap Ali yang asik mengunyah.

Tawa Ali pecah dan untuk kesekian kalinya Prilly kembali jatuh dalam pesona laki-laki ini.

"Kalau kamu mau ya saya nggak ngelarang sih. Lagian nyenengin hati suami itu pahalanya besar loh!" Ali mengerling jahil kearah Prilly yang membuat wanita itu mendengus pelan dan kembali tawa Ali terdengar.

Suasana didalam mobil pagi ini benar-benar terasa hangat bahkan Ali sampai tak sadar jika ia sudah menghabiskan bekal yang dibawakan Prilly untuk dirinya sendiri.

Mobil yang dikemudikan oleh Ali sudah terparkir di parkiran khusus untuk dirinya. "Bekal kamu sudah saya habiskan bagaimana kalau nanti kita makan siang anggap aja sebagai ganti bekal kamu yang saya habiskan." Tawar Ali dengan senyuman kecilnya.

Prilly jelas tidak akan menolak tawaran ini, hitung-hitung ini akan menjadi kesempatan pertamanya untuk menarik perhatian Ali. "Boleh deh Pak." Jawabnya berusaha santai.

Ali mengangguk pelan sebelum keduanya benar-benar turun Ali sempat berkata yang membuat jantung Prilly berdebar kencang. "Perihal Ayah kamu jangan terlalu kamu pikirin itu akan menjadi urusan saya termasuk dalam meminta restu beliau untuk pernikahan kita."

***

"Kamu dari mana saja Mikhayla?!"

Langkah Mikhayla sontak terhenti saat mendengar suara Ibunya. "Mikha dari rumah teman Ma. Iya rumah teman." Jawabnya sedikit gemetar, ia takut Ibunya mengendus kebohongannya.

Cecilia menatap dalam putrinya berusaha mencari kebohongan dimata sang putri. "Kenapa kamu nggak kabarin Mama?"

"Lupa Ma. Maaf ya, besok-besok Mikha nggak gitu lagi."

"Ini baju siapa kamu pakek?" Tanya Cecilia kembali curiga melihat pakaian tebal yang melekat pada tubuh putrinya.

Mikhayla ikut menatap penampilannya, sialan ia lupa jika dirinya mengenakan kemeja kebesaran milik Damar untuk menutupi bercak-bercak merah pada bagian tubuhnya yang tidak bisa ditutupi dengan dreas ketat yang ia pakai tadi malam.

"I--ini Ma. Ini kemejanya Kakaknya teman Mikha jadi dress yang Mikha pakai semalam koyak terus Mikha tutupin pakai kemeja ini." Lancar sekali kebohongan yang Mikhayla lakukan pagi menjelang siang ini.

Maafin Mikha Ma, Mikha tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya terjadi sama Mama. Maaf.

"Ya sudah sekarang kamu ke kamar." Mikhayla ingin melonjak karena kesenangan dilepaskan begitu saja oleh sang Ibu jadi ia tidak perlu membohongi Ibunya lebih banyak lagi.

"Oh ya Mikha.."

Langkah Mikhayla kembali berhenti dengan sedikit cemas ia berbalik menatap Ibunya. "Kenapa Ma?"

"Bagaimana acara makan malam kamu sama keluarga Sudrajat lancar?" Mikhayla kembali menampakkan raut sendunya saat mengingat bagaimana Reihan menyakiti dirinya.

"Lancar kok Ma." Jawabnya berusaha terlihat baik-baik saja.

Cecilia sedang memoles kuku-kuku cantiknya dengan beberapa warna kutek itu tidak terlalu memperhatikan perubahan ekspresi wajah putrinya. "Baguslah. Mama sudah nggak sabar mau besanan sama keluarga konglomerat itu, asal kamu benar-benar menikahi Ali rasanya keinginan Mama akan segera terpenuhi." Katanya sambil menoleh menatap putrinya yang masih berdiri di dekat tangga.

"Mama ingatkan hanya nikahi Ali bukan yang lain!"

Mikhayla menatap Ibunya dengan tatapan bingung. "Mikha masih bingung kenapa Mama ngelarang Mikha menikahi Reihan padahal posisi Reihan sama dengan Ali."

"Jelas tidak sama dong anak pungut sama anak kandung!" Celetuk Cecilia kalem namun mampu membuat jantung Mikhayla berdetak kencang. Ia tidak percaya dengan apa yang Ibunya katakan.

"Mama jangan ngarang Ma! Kalau Tante Reina dengar bisa-bisa Tante Reina---"

"Tante Reina apa? Kamu pikir apa yang bisa wanita itu lakukan tanpa suaminya yang konglomerat itu?" Potong Cecilia dengan dengusan kecilnya. "Lagian yang Mama omongin fakta kok. Reihan memang anak pungut!" Ejeknya lagi yang membuat Mikhayla membeku ditempatnya.

"Jadi yang merawanin gue bukan Sudrajat sesungguhnya?" Lirihnya kecil namun masih terdengar samar-samar ditelinga Cecilia.

"Kamu ngomong apa Mikha?"

Mikhayla menoleh menatap ibunya lalu menggeleng pelan. "Enggak kok Ma. Mikha keatas dulu ya Ma."

"Iya istirahat kamu keliatan banget kamu capeknya." Ujar Cecilia tanpa tahu apa penyebab capek putrinya.

Mikhayla menghempaskan tubuhnya ke ranjang begitu tiba di dalam kamarnya. "Untung juga gue udah move on dari pria itu coba kalau nggak pasti malu tujuh turunan seorang putri tunggal Gerald Hutomo menikahi anak pungut seperti Reihan. Memang Ali-lah yang paling cocok untuk menjadi pendamping gue." Monolog Mikhayla sambil menatap langit-langit kamarnya.

*****

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang