Bab 35

2.4K 326 29
                                    


"Sudah lebih tenang?"

Prilly mendongak menatap Ali lalu mengangguk pelan. Mata dan wajahnya masih sembab karena terlalu lama menangis.

Prilly menoleh kearah belakang untuk melihat jam yang tertempel di dinding apartemen Ali. "Nyaris malam." Katanya lesu. "Mama pasti khawatir saya pulang terlambat." Keluhnya lagi.

Ia terlalu larut dalam tangisannya bahkan sampai berjam-jam ia menangis dalam dekapan Ali dan setelahnya ia juga sempat tertidur sejenak dan sekarang ia baru sadar jika dirinya belum mengabari sang Ibu.

"Saya sudah telepon Tante Rahma." Jawaban Ali mampu membuat Prilly kembali mendongak kearahnya. Ali mengangguk pelan lalu memperlihatkan layar ponselnya dimana tertera nama Ibunya di sana. Pria itu benar-benar menghubungi Ibunya dan Prilly merasa lega sekali.

"Syukurlah, terima kasih Pak." Ali mengangguk pelan.

"Dan sekarang kamu sudah bisa menceritakan alasan dibalik tangisan kamu tadi. Ada apa? Apa kamu diam-diam melihat pesan saya?" Tanya Ali hati-hati.

Prilly mengerjap pelan. "Dan jika iya apa itu menyinggung perasaan Bapak?" Prilly balik bertanya.

"Sama sekali tidak. Saya tidak merasa tersinggung sama sekali hanya saja saya tidak suka melihat calon istri saya menangis sehebat tadi." Jawaban lugas Ali mampu membuat wajah Prilly bersemu kemerahan. Ia merona.

"Pak.."

"Hm?"

"Jika benar Ayah saya menolak untuk merestui pernikahan kita. Apa semuanya akan batal?" Tanya Prilly pelan.

Ali menatap calon istrinya cukup lama. "Jika kamu bertanya pada saya maka saya akan menjawab apa yang sudah kita rencanakan maka tidak ada yang bisa menggagalkannya kecuali Tuhan." Tegas Ali.

Prilly kembali terpesona dengan pria ini, meskipun belum ada kata cinta namun sikap Ali yang seperti ini sudah mampu membuat hatinya terharu. Pria ini ternyata tidak semudah itu melepaskan dirinya. Apakah ia boleh berbahagia atas perjuangan Ali ini?

"Bapak akan berjuang untuk mendapatkan dari beliau?" Beliau yang dimaksud Prilly adalah Ayah kandungnya. Ia masih canggung menyebut pria bernama Gerald itu sebagai Ayahnya. Terlalu lama hidup tanpa sosok Ayah membuatnya merasa tidak nyaman ketika sosok itu tiba-tiba hadir.

"Tentu saja." Jawab Ali lugas. "Saya sudah pernah katakan jika pernikahan yang kita jalani bukan hanya sebagai bentuk bakti saya kepada Mami karena menjodohkan kita tapi saya benar-benar akan memperlakukan kamu sebagaimana layaknya seorang istri diperlakukan." Ali tersenyum kecil. "Dan mendapatkan restu dari Ayah kamu rasanya juga termasuk dalam hal tersebut meskipun kamu masih berstatus calon istri saya." Jelas Ali panjang lebar.

Prilly tampak menggigit bibirnya pelan sebelum kembali menatap Ali. "Bolehkah saya ikut bertemu dengan beliau jika nanti Bapak kembali ke sana?" Tanya Prilly hati-hati.

"Kamu yakin?"

Prilly mengangguk pelan. "Iya."

"Tapi sebelumnya ada satu hal yang perlu kamu tahu."

"Apa?"

Ali sudah mendapat informasi dari Alex jika tadi siang Mikhayla datang ke kantor saat dirinya tidak ada singkat cerita Mikhayla melabrak Prilly yang notabene calon istrinya.

"Apa yang Mikhayla katakan tadi siang?" Tanya Ali sebelum menjelaskan siapa sebenarnya Mikhayla ia ingin terlebih dahulu tahu apa saja yang wanita itu lakukan pada Prilly.

Prilly sedikit terhenyak ia tidak menyangka jika Ali bisa tahu perihal kedatangan Mikhayla. "Tidak ada ia hanya mencari Bapak."

"Jangan bohong! Saya tahu kamu sedang berbohong saat ini." Prilly refleks mengerucutkan bibirnya. "Ih nggak boong!" Rajuknya begitu manja.

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang