Bab 31

1.7K 309 38
                                    


"Bagaimana ini Bram! Bagaimana kalau pria itu benar-benar membunuh kita!" Cecilia terlihat gelisah dan ketakutan sekali. Begitu tiba di apartemen milik kekasih gelapnya.

Laki-laki yang bernama Bram itu memiliki perawakan tinggi dengan tubuh tegap yang sebagian tubuhnya dipenuhi tato.

"Kenapa Sayang?" Tanya Bram dengan santai bahkan dengan manjanya ia memeluk pinggang ramping wanita yang sudah melahirkan satu orang anak itu.

"Bram tolong saat ini bukan waktunya untuk bermesraan tapi kita harus memikirkan cara supaya pria tua itu benar-benar mati sebelum dia yang membunuh kita!" Ujar Cecilia sambil melepaskan pelukan Bram di pinggangnya.

Bram menatap kesal wanita dihadapannya ini namun ia mengerti jika saat ini kekasihnya itu sedang kalut dan takut.

"Tenang saja Cecil, pria tua itu tidak akan bisa melakukan apa-apa sama kita apalagi sampai menyakiti kamu. Kamu pikir aku akan tinggal diam?" Seringai licik terlihat membentuk kedua sudut bibir pria bertato itu.

Cecilia menatap bingung kekasihnya. "Apa yang sebenarnya sedang kamu rencanakan Bram?" Tanyanya penasaran.

Bram melangkah meninggalkan Cecilia menuju bar mini yang ada disudut apartemennya. "Sepertinya kamu lupa jika Bram yang saat ini berdiri dihadapan kamu bukanlah pria miskin yang dihina habis-habisan oleh keluarga kamu dulu. Sekarang aku sudah memiliki kekuasaan juga kekayaan Cecilia jelas melenyapkan seorang Hutomo bukanlah masalah kecil untukku." Sombong Bram yang membuat Cecilia tersenyum lebar.

"Kamu benar Sayang. Kamu yang sekarang bukan lagi pria lemah dan miskin seperti dulu. Maafkan aku, seharusnya aku tidak perlu memikirkan apapun cukup nikmati waktu bersama kamu dan anak kita." Ujar Cecilia dengan manja yang membuat Bram tersenyum manis menatap wanita yang begitu ia cintai sedari dulu.

"Kamu masih secantik dulu Sayang." Bram membelai wajah mulus Cecilia. "Tidak heran jika Mikhayla putri kita memiliki kecantikan yang luar biasa." Lanjutnya lagi yang membuat wajah Cecilia bersemu merah.

Puluhan tahun yang lalu ia mengandung benih laki-laki yang sampai saat ini masih menjalin hubungan dengannya. Cecilia terpaksa menikahi Gerald karena tuntutan keluarganya yang kala itu merasa malu karena dirinya justru mencintai pria miskin sedangkan Cecilia berasal dari keluarga kaya raya.

Cecilia tidak pernah bahagia hidup bersama suaminya Gerald, jika berbicara materi mungkin iya tapi jika perihal kebahagiaan hati hanya Bram satu-satunya pria yang bisa membuatnya bahagia dan melambung ke awan seperti saat ini.

Pria itu dengan begitu gagah bergerak cepat di atas tubuhnya yang sudah terlentang di atas sofa dalam keadaan telanjang. Suara desahannya kini beradu dengan geraman buas Bram yang membuat kepuasannya menjadi berkali-kali lipat.

"Aaahhh.. Sayang..."

Dengan nakal Cecilia meremas kedua payudaranya yang membuat Bram semakin bergairah. Keduanya selalu rutin melakukan hubungan suami istri ketika bertemu karena sejak menikahi Gerald hanya beberapa kali pria itu pernah menggagahinya dan itupun selalu diakhiri dengan pertengkaran dan juga perdebatan karena setiap kali berhasil memuaskan nafsunya pria itu selalu menyebutkan nama perempuan lain yang ternyata mantan istrinya.

Dan Cecilia sangat membenci sifat Gerald yang bajingan dan tidak tahu diri itu.

"Kamu sangat nikmat Sayang.." Desah Bram yang menyadarkan Cecilia jika satu-satunya pria yang mampu membuatnya bahagia hanyalah Bram, kekasih juga Ayah biologis dari putrinya.

Mikhayla.

***

Prilly sedang memeriksa beberapa berkas serta mengatur kembali jadwal meeting Ali untuk esok harinya karena hari ini pria itu sedang menyelesaikan masalah yang entah apa Prilly tidak tahu.

Sejujurnya, ia merasa sedikit lelah menjalani hubungan yang pada dasarnya hubungan itu terjalin bukan karena keinginan mereka masing-masing tepatnya Ali. Jadi ketika pria itu ingin pergi atau melakukan apa Prilly merasa seperti tidak memiliki hak untuk bertanya walaupun status mereka saat ini sudah jelas sebagai calon suami istri.

Ali dan Prilly serta keluarga besar mereka sepakat untuk tidak lagi mengadakan acara lamaran resmi karena Reina dan Rahma ingin keduanya segera melangsungkan pernikahan.

"Ekhem!"

Prilly yang sedang menundukkan kepalanya fokus pada kertas dihadapannya sontak mendongak ketika mendengar suara deheman seseorang dan ternyata orang itu adalah Mikhayla.

Meskipun terpaksa Prilly tetap berdiri dan tersenyum ramah pada wanita yang berdiri angkuh dihadapannya ini. "Selamat siang Mbak ada yang bisa saya bantu?" Tanya Prilly sopan.

Dulu ketika pertama kali ia melihat sosok Mikhayla di rumah sakit hal pertama yang tercetus di kepalanya adalah Mikhayla sosok perempuan baik dan bersahaja namun hari ini semua itu terpatahkan oleh kenyataan dimana sosok Mikhayla yang sempat ia kira bersahaja sedang menatapnya dengan penuh keangkuhan.

"Lo kerja disini?" Prilly enggan bertanya lain hanya menganggukkan kepalanya. "Iya Mbak." Jawabnya sopan.

"Bagus deh kerja di kantor Ali-nya gue jadi kalau gue datang ke sini lo hanya perlu layanin gue kayak lo layanin Ali. Paham?" Prilly langsung menggelengkan kepalanya. "Tidak karena bos saya hanya Pak Ali bukan Mbak Mikhayla." Jawabnya tegas yang membuat Mikhayla menatapnya tajam.

Raut angkuh di wajahnya berubah murka. "Lo nggak tahu siapa gue hah?!"

"Tau. Mbak namanya Mikhayla teman masa kecil Pak Ali dan Reihan." Jawabnya polos.

"Gue calon istrinya Ali!" Bentak Mikhayla keras.

"Lalu saya? Sepertinya Mbak sedang mengigau atau mungkin Mbak mabuk?" Ejek Prilly kali ini tidak ada lagi ekspresi ramah di wajahnya. "Bukankah malam itu Mbak ada di sana ketika Mami Reina meminta Mas Ali untuk menikahi ku?" Prilly sengaja mengubah panggilan ketika menyebutkan nama Reina juga Ali yang membuat Mikhayla semakin terpancing emosinya.

"Lo--"

"Dengar Mbak! Ini kantor tempat bekerja jadi kalau Mbak mau buat keributan sama saya tunggu saya pulang kerja maka dengan senang hati saya akan meladeni Mbak Mikhayla." Potong Prilly dengan tegas. "Jadi kalau dirasa Mbak udah nggak ada kepentingan di sini silahkan Mbak angkat kaki dari sini!" Usir Prilly tanpa takut.

Mikhayla benar-benar tidak menyangka jika sosok wanita kampung yang ia anggap lemah ternyata bisa seberani ini melawan dirinya.

Mikhayla tersenyum kecil saat sebuah ide tercetus di kepalanya. Dengan penuh senyuman licik ia dekatkan wajahnya kehadapan Prilly yang membuat Prilly refleks memundurkan wajahnya. Takut-takut Mikhayla gila dan berakhir menciumnya jelas Prilly memundurkan wajahnya.

"Lo nggak tahu gimana nikmatnya malam yang gue habiskan bersama Ali. Mungkin sebentar lagi benihnya akan tumbuh di sini dan lo bakal berakhir dengan menangis darah melihat Ali bahagia bersama gue dan calon anak kami." Kata Mikhayla sambil mengusap perutnya pelan.

Prilly melirik perut rata Mikhayla lalu kembali memusatkan pandangannya pada Mikhayla yang sedang tersenyum mengejek kearahnya.

"Dan Mbak pikir hanya karena gertakan sambal ini saya akan mundur?" Wajah Mikhayla yang berseri-seri sontak berubah tegang kembali. "Mbak salah orang jika berharap hanya dengan bualan kosong itu Mbak bisa ngerusak mental saya. Saya tidak selemah itu Mbak lagipula jika Mas Ali benar-benar menanamkan benih di perut Mbak, saya nggak keberatan untuk merawat anak itu seperti anak saya sendiri." Balas Prilly dengan senyuman penuh kemenangan.

"Sialan lo Jalang!" Maki Mikhayla sebelum berbalik dan meninggalkan Prilly yang sontak terduduk lemah dengan kedua tangan bergetar.

"Semoga hal itu tidak benar-benar terjadi Ya Tuhan.. Jangan sampai..." Mohonnya dengan penuh kesungguhan.

*****

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang