Bab 25

1.6K 299 22
                                    


"Pesan Mami kita disuruh ke butik langganan Mami pulang kerja nanti."

Prilly yang sedang melahap nasi ayam penyet sambal pedas miliknya mendongak menatap Ali lalu menganggukkan kepalanya. Ia terlalu sibuk mendesis karena kepedasan bahkan untuk berbicara saja ia kesulitan namun begitu tangannya masih begitu lancar menyuapkan nasi yang dipenuhi sambal pedas itu.

Ali yang melihatnya saja perutnya seketika mulas apalagi Prilly yang begitu banyak menghabiskan sambal yang pedasnya sangat tidak wajar bagi Ali.

Ali bukan pecinta pedas berbeda dengan Prilly yang begitu menggilai makanan-makanan yang berbau cabai.

Keringat mulai membanjiri wajah Prilly bibir yang biasa berwarna pink itu kini terlihat begitu marah dan sedikit jontor efek pedas yang tidak main-main itu.

"Berhenti makan makanan ini! Pesan lain!" Ali segera meraih piring milik Prilly yang mendapat tatapan tak suka dari empunya. "Saya khawatir lambung kamu meledak karena makanan pedas gila ini." Ujar Ali lagi yang membuat Prilly mencebik kesal.

"Tapi saya suka loh Pak sambal pedasnya. Enak!" Prilly berusaha meraih piringnya namun Ali semakin menjauhkannya dari jangkauan Prilly.

"Mbak!" Panggilnya pada salah seorang karyawan yang kebetulan melintasi meja mereka. "Pesan nasi ini tapi sambalnya yang nggak pedas--"

"Nggak pedas mana enak Pak!" Rajuk Prilly yang membuat Ali menoleh lalu menatapnya tajam.

Prilly kembali mencebikkan bibirnya ia balas tatapan Ali dengan tatapan garangnya. Karyawan yang melihat keduanya tertawa geli.

"Istrinya lagi hamil Pak ya?" Tanya karyawan itu yang sontak membuat Ali dan Prilly lalu menatap ngeri kearah sang karyawan.

"Engg---"

"Iya Mbak. Makanya saya larang istri saya makan pedas kasian anak kami kebakaran di dalam sana." Ujar Ali sambil melirik perut rata Prilly.

Karyawan itu mengangguk paham sedangkan Prilly dengan bodohnya ia ikut menatap perutnya bahkan tanpa sadar sebelah tangannya yang tidak terkena sambal mengusap lembut perutnya.

"Disini ada Pamela lemak baik yang saya besarkan dengan sepenuh hati." Katanya ngawur yang membuat Ali terdesak minumannya, untung saja karyawan itu sudah meninggalkan meja mereka untuk membuat pesanan Ali.

"Ngawur kamu!" Sembur Ali berusaha menutupi kegeliannya.

Prilly mendesis pelan sebelum helaan nafasnya terdengar, sejujurnya ia juga merasa perutnya seperti tidak enak karena sambalnya terlalu pedas tapi mau bagaimana semakin pedas sambalnya justru semakin enak menghabiskannya. Prilly ketagihan seolah tidak ingin berhenti.

"Nih minum dulu ngeri saya liat bibir kamu sekarang." Ali menyodorkan minumannya kepada Prilly yang membuat Prilly tertegun sejenak namun ia segera meriah sedotan lalu meminum air dingin yang Ali sodorkan. Secara tidak langsung mereka kembali berciuman bukan?

Prilly melepaskan sedotan di mulutnya saat merasakan mulutnya sudah tidak sepanas tadi dan yang membuat dirinya kembali terbelalak adalah Ali yang kembali menyedot minumannya melalui sedotan yang baru saja Prilly gunakan.

"Ada yang salah?" Tanya Ali saat melihat Prilly menatapnya dengan pandangan terkejut. "Bapak makek sedotan bekas saya?"

Ali melirik sedotan ditangannya lalu kembali menatap Prilly. "Kenapa? Sebentar lagi kita tidak hanya akan berbagi sedotan." Ujar Ali yang terdengar ambigu ditelinga Prilly namun berusaha ia tepis.

"Setelah menikah kita akan berbagi semuanya termasuk kehangatan." Kali ini Prilly tidak dapat menyembunyikan lagi keterkejutannya bola matanya nyaris melompat keluar setelah mendengar pernyataan vulgar Ali sedangkan pria itu justru tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengerjai calon istrinya.

"Owalah dasar calon suami edan!" Lirih Prilly yang hanya di dengar oleh telinganya sendiri sedangkan pria dihadapannya masih sibuk dengan tawanya.

Jika dilihat-lihat Ali yang sekarang begitu berbeda dengan Ali yang awal ia kenal. Berbeda jauh...

***

Pulang dari kantor Ali dan Prilly langsung menuju butik yang sudah menjadi langganan Reina. Prilly sudah membayangkan seperti apa butik langganan calon mertuanya itu namun ketika tiba di sana ia tidak bisa menyembunyikan decakan kagumnya saat melihat bangunan yang lumayan luas dan bertingkat berdiri gagah dengan interior yang begitu mewah.

"Ayok!" Ajak Ali yang sudah mematikan mesin mobilnya.

Keduanya berjalan memasuki butik itu. "Selamat datang Tuan dan Nyonya." Sambutan ramah karyawan butik membuat Prilly tersenyum ramah sedangkan Ali pria itu hanya melongos begitu saja.

"Ada yang bisa kami bantu Nyonya?"

"Eh?" Prilly kebingungan menjawab apa karena ia sama sekali tidak tahu gaun atau kebaya seperti apa yang harus ia pilih.

"Ambil saja pesanan Ibu Reina Sudrajat!" Suara berat Ali terdengar yang membuat Prilly sontak menghembus nafas leganya.

Karyawan bernama Fitri biru segera undur diri untuk memanggil pemilik butik karena sesuai dengan perintah pemilik butik jika putra dan calon menantu Nyonya Reina Sudrajat datang maka pemilik butik itu sendiri yang akan melayaninya.

Prilly menempati sofa empuk yang ada ditengah ruangan disusul Ali yang langsung sibuk dengan ponselnya. Prilly tidak terlalu kepo dengan kegiatan Ali pasalnya ia sendiri lelah sekali hari ini.

Perusahaan yang dipimpin oleh Ali itu akhir-akhir ini banyak sekali masuk proyek-proyek besar yang membutuhkan perhatian ekstra supaya tidak ada kesalahan yang akan mengakibatkan kerugian pada perusahaan.

Drrt... Drtt...

Ali ikut menoleh ketika ponsel milik Prilly berdering. Gadis itu segera membuka tasnya untuk mengeluarkan ponselnya dan nama Pak Fuad tertera memenuhi layar ponselnya.

"Ya ampun sampai lupa janji sama beliau." Keluh Prilly sebelum menjawab panggilan tersebut.

Ali semakin mengerutkan keningnya melihat Prilly yang berbicara dengan begitu tenang dan sopan dengan si penelpon.

"Iya Pak. Besok saya bisa Pak kalau Bapak gimana?" Prilly tidak sadar jika pembicaraannya diam-diam disimak oleh calon suaminya yang sejak awal sudah pasang telinga.

Bahkan Ali sampai melupakan pesan Mikhayla yang ingin ia balas. Wanita itu sejak tadi pagi terus saja mengiriminya pesan yang menjurus kearah yang menggoda namun bukannya tertarik Ali justru merasa bingung sehingga ia memilih mengabaikan pesan dari wanita yang mungkin sampai saat ini masih ia cinta itu.

Hanya Ali, Tuhan dan penulis yang tahu.

Dan sekarang ia kembali mengabaikan pesan Mikhayla karena rasa penasarannya pada pembicaraan Prilly dengan si penelepon yang Prilly panggil Bapak itu.

"Maaf Pak. Saya hanya ingin bertemu Bapak untuk konsultasi perihal skripsi saya tidak untuk yang lain."

Oh jadi yang menelpon Prilly dosennya di kampus tapi tunggu dulu kenapa Prilly terlihat tidak nyaman berbicara dengan Dosen pembimbingnya sendiri?

Ali semakin yakin ada yang salah saat Prilly kembali menegaskan jika dirinya tidak bisa berinteraksi lebih dengan Dosennya selain perihal skripsi. Sebagai pria dewasa Ali jelas tahu apa yang Dosen itu minta pada calon istrinya.

"Baik Pak. Sekali lagi terima kasih, maaf saya harus menutup telponnya karena ada pekerjaan lain yang sangat mendesak. Sekali lagi terimakasih Pak." Dan Prilly benar-benar mengakhiri panggilan tanpa menunggu balasan dari Pak Fuad.

Melihat wajah frustasi Prilly sepertinya Ali tahu apa yang harus ia lakukan.

*****

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang