Bab 30

1.9K 302 21
                                    


Prilly menjalani aktivitasnya seperti biasa. Ia masih berinteraksi dengan Ali hanya seperlunya meskipun biasanya mereka juga bersikap kaku jika berhubungan dengan pekerjaan namun tidak sekaku dan secanggung sekarang ini.

Ali berkali-kali berusaha memulai pembicaraan dengan Prilly namun calon istrinya itu dengan penuh 'kesopanan' melongos pergi mengabaikan dirinya dan hal itu benar-benar membuat Ali pusing.

Setelah membereskan berkas pekerjaannya yang terakhir sebelum makan siang, Ali segera beranjak dari kursi kebesarannya. Ia jelas tidak melupakan janji temunya dengan calon ayah mertuanya.

Ali pernah membayangkan jika dirinya akan bertemu dengan Gerald untuk meminta restu pria itu namun bukan Prilly sebagai calon istrinya melainkan Mikhayla tapi siapa yang bisa menebak takdir, alih-alih menikahi Mikhayla gadis yang sudah ia puja sejak kecil ia justru berakhir dengan Prilly wanita yang tak sengaja memasuki kehidupannya karena ulah nakal sang Adik.

Takdir benar-benar luar biasa mengatur pertemuan mereka sampai akhirnya kini Ali dan Prilly menyandang status sebagai calon suami istri meskipun tanpa lamaran resmi tapi seluruh keluarga besarnya sudah tahu jika sebentar lagi Ali akan melepas masa lajangnya.

"Permisi ada beberapa berkas yang perlu tanda tangan Bapak." Prilly meletakkan map yang ia bawa di atas meja Ali. Jujur diam-diam ia memperhatikan Ali yang sudah memakai jasnya sepertinya pria itu akan pergi.

Pergi kemana Ali? Apa pria ini kembali menemui wanita bernama Mikhayla itu?

"Saya hanya bertemu dengan orang penting bukan dengan orang yang saat ini kamu pikirkan." Ujar Ali sambil membubuhkan tanda tangannya pada map yang Prilly serahkan.

Prilly jelas merasa malu setengah mati. Sial! Kenapa pria itu bisa tahu apa yang sedang ia pikirkan? Benar-benar memalukan.

"Wajah cemberut kamu sudah menjelaskan semuanya." Ali sudah menegakkan tubuhnya kembali kini fokusnya hanya tertuju pada Prilly yang masih berdiri kaku ditempatnya.

Perlahan Ali melangkah mengitari mejanya lalu berdiri tepat dihadapan Prilly. Refleks Prilly mendongakkan kepalanya menatap Ali yang ternyata juga sedang menatap dirinya. Keduanya saling berpandangan sejenak sebelum Prilly memutuskan pandangannya terlebih dahulu.

Ali menahan dagu Prilly lalu mengarahkan kembali kearahnya sehingga pandangan mereka kembali bertemu.

"Saya benar-benar minta maaf atas kejadian tadi malam. Saya benar-benar menyesal Prilly." Prilly bergeming pandangannya terus berpusat pada manik hitam legam milik pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.

"Apa sebenarnya posisi Mikhayla di hati kamu? Saya terlalu malas jika harus berurusan dengan masalalu---"

"Mikhayla hanya teman. Saya dan Reihan sudah berteman dengan Mikhayla sejak kecil dan posisi Mikhayla hanya sebatas itu." Ali tidak tahu kenapa mulutnya dengan begitu lancar mengatakan posisi Mikhayla baginya hanya sebagai sosok teman.

Ali juga tidak merasa sakit atau sesak seperti yang dulu kerap kali ia rasakan saat Mikhayla sama sekali tidak menggubrisnya. Apa ia sudah melepaskan perasaannya pada Mikhayla tanpa ia sadari?

"Benarkah?"

Ali menganggukkan kepalanya dengan yakin. Kini kedua tangannya memegang lembut bahu kecil Ali. "Yang tadi malam adalah kebodohan pertama dan terakhir yang saya lakukan selanjutnya saya akan berusaha menjaga perasaan calon istri saya." Mendengar kata-kata lembut Ali tanpa dicegah kedua pipi Prilly merona dan hal itu berhasil membuat sudut bibir Ali tertarik membentuk sebuah senyuman.

"Saya bahagia akhirnya kamu memaafkan saya."

"Tapi sekali lagi Bapak seperti tadi malam nggak akan berpikir dua kali saya benar-benar akan tendang Bapak." Ancam Prilly serius yang justru dibalas tawa oleh Ali.

"Iya-iya ditendang sampai ke planet Mars sana juga saya rela asal yang nendang saya benar-benar kamu." Canda Ali yang dibalas dengusan oleh Prilly.

"Bisa aja nih kanebo kering gombalnya." Lirih Prilly pelan tentu saja tidak sampai didengar oleh Ali. Biar gimanapun Ali adalah Bosnya.

"Ya sudah kalau begitu saya keluar dulu ada urusan penting yang harus saya bereskan." Kening Prilly berkerut dalam ia tak bertanya tapi Ali paham maksud kernyitan itu. "Saya akan menemui seseorang dan hal ini menyangkut kita berdua." Katanya sambil mengusap-usap lembut kening Prilly untuk menghilangkan kerutannya.

"Kamu jangan lupa makan. Saya benar-benar akan marah jika kamu melewatkan makan siangmu hanya untuk pekerjaan. Paham?"

"Iya-iya loh Bapak. Bawel amat nih calon suami gue." Dumel Prilly yang dibalas kekehan pelan oleh Ali.

"Ya sudah saya pergi dulu."

"Iya Pak. Hati-hati dijalan."

"Siap calon istri."

Blush!

Ah sial! Prilly merona.

***

"Silahkan duduk.."

"Terima kasih Om."

Ali dan Gerald kini duduk berhadapan dengan aura yang menguar diantara keduanya terkesan berbeda dari biasanya.

Keduanya terlihat saling melempar tatapan menyelidik ke masing-masing. Ali juga tak mau kalah dengan berani ia membalas tatapan tajam Gerald dengan tatapan penuh intimidasinya.

"Om tidak akan bertele-tele dengan kamu." Gerald terlebih dahulu membuka suara. "Kamu benar-benar serius menikahi putri Om?" Tanya Gerald langsung tanpa basa-basi.

Ali menaikkan sebelah alisnya, ia tidak menyangka jika Gerald bertindak lebih jauh dari yang ia pikirkan. "Saya tidak akan menikahi Mikhayla."

Gerald menggeram pelan saat tahu jika Ali sedang mempermainkan dirinya. "Kamu jelas tahu putri yang Om maksud."

Ali tak langsung menjawab ia justru menyamankan posisinya terlebih dahulu di atas sofa mahal milik calon mertuanya.

"Memangnya Om punya berapa putri? Setahu saya Om cuma punya satu putri yang bernama Mikhayla. Apakah saya salah?"

"Jangan main-main kamu sama saya ya?!" Gerald menggebrak meja karena emosinya yang sudah terpancing.

Ali tertawa pelan, katanya ia tidak sopan tapi mengingat bagaimana tangisan pilu Tante Rahma beberapa waktu lalu juga Prilly calon istrinya yang bahkan sampai kehilangan kesadarannya karena kelakuan pria dihadapannya ini benar-benar membuat Ali muak.

"Bisa-bisanya Om begitu percaya diri dengan mengakui calon istri saya sebagai putri Om." Ali kembali memperdengarkan kekehan gelinya yang membuat kedua tangan Gerald mengepal kuat. "Memangnya apa kontribusi Om selama ini dalam hidup calon istri saya hm?" Ejek Ali kali ini bukan hanya gebrakan meja yang Ali dapatkan melainkan tendangan pada ujung meja yang nyaris menghantam kedua kakinya namun sayangnya ia lebih gesit dari yang Gerald perkirakan.

Dengan santainya Ali menahan pinggiran meja dengan sebelah kakinya. "Jangan membuat saya semakin mempermalukan Om, tujuan saya menemui Om hanya sebagai formalitas saja karena saya masih menganggap Om sebagai Ayah dari calon istri saya jika tidak mungkin hal pertama yang akan saya lakukan ketika menginjakkan kaki di ruang ini adalah membunuh laki-laki pengecut yang meniggalkan anak dan istrinya tanpa belas kasihan belasan tahun lalu." Ali menyeringai kecil sedangkan Gerald sudah pias. Ia tidak menyangka jika Rahma begitu terbuka membeberkan masa lalu mereka.

"Tapi dengan tidak tahu malunya pria itu kembali dan berniat merebut putri yang dulu dengan sengaja ia buang. Satu hal yang harus Om ingat, jangan sakiti Prilly dan Tante Rahma karena mereka sekarang adalah bagian dari keluarga Sudrajat jika Om benar-benar menyakiti mereka bukan hanya saya yang akan Om hadapi tapi seluruh keluarga Sudrajat. Permisi!" Ali segera keluar dari ruangan Gerald meninggalkan pria itu yang berteriak marah sambil menghancurkan barang-barang miliknya.

Jujur saja Ali tidak berniat untuk membuat keributan hanya saja ia muak dengan sikap sok berkuasa pria yang sudah membuang anak dan istrinya di masa lalu layaknya sampah lalu sekarang dengan tanpa bersalahnya pria itu justru datang seolah-olah dia yang paling banyak berkorban untuk calon istrinya.

Munafik!

*****

Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang