#21. [ArRans & Dua pilihan]

6 0 0
                                    

Kedua tangan itu melambai, memberi tanda kepada seseorang yang ia lihat di ujung gerbang keluar stasiun, diantara banyak manusia-manusia yang mungkin saja menunggu kehadiran seseorang pula.

"Uzi!" teriak gadis itu dengan tas ransel yang setia menemani perjalanannya dari Yogjakarta. Sang empu yang memutar kepalanya pun langsung tersenyum, ikut melambaikan sebelah tangannya.

Tapi, seperti merasa cukup lama gadis itu berjalan mendekat, melewati celah-celah kecil diantara banyaknya orang, dia tak kunjung sampai di hadapan pria itu.

"Uzi!" teriakannya lagi, hanya saja dia tak melambaikan tangannya.

"Aih! Hati-hati!" balasan itu membuat Faiha mendongak, berjinjit menatap satu arah yang akan ia tuju.

Tapi, seperti melakukan teleportasi, seseorang diujung sana menghilang begitu saja, dan mata Faiha pun berpendar kesana-kemari, mencari keberadaannya untuk ia jadikan tujuan, namun, terlambat, gadis itu di tubruk dari belakang, dan saat ingin menatap apa yang ada di belakangnya, matanya terbuka, langsung berhadapan dengan langit-langit kamar yang remang-remang.

Bersamaan dengan cairan bening yang membasahi kedua matanya, mengalir melewati pelipisnya.

Cukup lama diam terpaku, Faiha tak menggerakkan seluruh tubuhnya yang masih dibawah selimut tebal. Apa yang baru saja terjadi, apa maksudnya, dan seperti sebuah hal menyakitkan isakan kecil mulai terdengar memenuhi ruangan itu.

"Kenapa harus mimpi?" Isak gadis itu sambil menutup mata dengan lengannya.

"Uzi!" rintih gadis itu memanggil satu nama.

Nama yang masih betah menjadi tokoh utama dalam cerita hidupnya, Fauzi. Bermimpi bertemu dengan pria itu, sudah lebih cukup baginya, tapi, kenapa hanya sebentar? Dia hanya ingin menatap wajah itu lebih dekat lagi, lebih lama lagi.

Dalam tidur pun pria itu masih menjadi tokoh utamanya, dengan masuk kedalam alam bawah sadarnya dan hanya berkata satu kalimat saja. Fauzi masih terpendam dalam hatinya.

'Faiha! Hati-hati!'

Mengingat mimpi itu, isakan Faiha semakin memenuhi ruangan, tubuh yang berbaring itu bergetar, meski matanya tak terlihat sebab lengannya menghalangi, tak bisa di pungkiri lagi cairan bening itu membanjir.

Menyakitkan sekali memang, saat kita merindukan seseorang, tapi, kita tak bisa untuk sekedar menatapnya meski hanya sebentar. Kehilangan membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa dan membuat rasa itu menjadi menguat saat kita tak bisa menerimanya.

Untuk dini hari ini, biarkan keheningan yang menemani Faiha, biarkan gadis itu menerima sebuah ketenangan meski lewat mimpi dan air mata dengan hadirnya Fauzi yang membawanya kembali teringat akan sesuatu yang membahagiakan.

Dan biarkan malam ini Faiha kembali bermunajat kepada-Nya. Mengadu akan kerinduannya, dan meminta jalan terbaik untuk ia tempuh kedepannya.

🌀🌀🌀

"Saya ingin menjadikan Faiha istri saya."

Ruangan itu seketika menjadi hening, Isvara, Faiha, dua gadis itu hanya saling diam menghembuskan napasnya, membiarkan dua orang yang menjadikan mereka hadir di bumi ini berhadapan dengan pria berkaos hitam dan jas yang senada.

Belum ada balasan, Ayah, pria paruh baya itu menjadi seseorang yang begitu serius mengahadapi apa yang baru saja dia dengar. Begitu pula dengan Ibu, wanita itu begitu lembutnya mengusap lengan suaminya, berharap kata baik-baik saja mengakhiri pembicaraan ini.

Dzikir Sendu Sang Perindu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang