"segala sesuatunya akan tetap menjadi ada.
Kenangan, tawa, juga Air mata."🌹🌹🌹
Manusia satu itu termenung depan jendela ruang rawat bundanya. Matanya lurus tertuju pada halaman luas rumah sakit yang dipenuhi genangan hujan yang belum juga tertelan oleh tanah.
"Ada cerita?" tanya Agis pendek.
Pria paruh baya itu ikut duduk di samping putranya setelah mengambil bangku kosong dari samping Rissa duduk. ArRans menghela napas panjang. Pandangannya masih sama. Hanya saja sorot matanya semakin terlihat sendu.
Ayahnya memang seperti ini. Terlihat begitu acuh di luar, dari penampilan, tapi, sebenarnya pria itu yang paling mengerti. Hanya saja tertutup oleh sikap pendiam dan tegasnya saja. Oh iya, karena gengsi juga. Hihihi.
"Banyak, tapi tidak tahu harus bermulai darimana." Tak ada gairah saat Rans menjawabnya.
"Ada apa?" sayup-sayup suara Bunda terdengar lirih. Semua mata beralih menatapnya, Rissa dan Kaivan juga berjalan mendekat.
"Syukurlah, Bunda udah bangun, Rissa khawatir sekali, Bunda." syukur Rissa sambil menggenggam tangan Bunda.
Hmmm
Sejenak pembahasan antara Agis dan ArRans terjeda, tapi, ArRans seperti menghela napas. Masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sesuatu yang entah apa itu, Rans tidak tahu.
"Ada yang sakit?" tanya Ayah lembut.
Bunda menggeleng, berusaha duduk sambil sedikit mengerang sakit. Agis dan Rans sigap mencegah. "Baring dulu, Tia, jangan keras kepala."
"CK, aku hanya pusing, Agis, pegal-pegal tau." omel Tia.
Agis menghela napas panjang, keras kepala sekali istrinya ini. Meski begitu, dia begitu menyayangi istrinya. Setidaknya wanita tercintanya kembali mengomel manja cukup untuk dirinya bernapas lega, dia masih ada dibumi.
Tia tersenyum, membalas genggaman Rissa sambil menatap mata gadis itu dengan tenang.
"Bunda tidak apa-apa, Rissa jangan khawatir." serak Tia bersuara.
Rissa tersenyum, menyeka ekor matanya yang berair, lalu mengangguk. Melihat itu Tia terkekeh pelan. Rissa tidak pernah berubah. Gadis itu selalu bertingkah paling heboh dan paling khawatir saat dirinya sakit, bahkan hanya tergores pisau pun.
Seperti waktu Rissa dan Rans SMP, tangannya terkena minyak panas karena Rissa meminta tolong dirinya untuk memasakan bakso yang katanya dibeli di pedagang kaki lima. Alhasil, Rissa berteriak kesana-kemari memanggil ArRans sambil menangis merasa bersalah.
Mengingat itu, Tia semakin tertawa. Mengusap kepala Rissa, lalu beralih menatap Kaivan dan bergantian menatap Rans.
"Rans ke kantin dulu, Bunda. Mau beli makan, karena sepertinya Bunda dirawat beberapa hari ini. Bunda kurang cairan." ucap Rans tiba-tiba.
Mendengar itu Tia tersenyum tipis. Benar, kalau tahu dirinya akan pingsan setidaknya biarkan keluarga kecilnya ini makan malam terlebih dahulu. Tia mengangguk.
"Maaf, Bunda menyebalkan."
Agis mengusap kepala istrinya. "Kita takut kamu kenapa-kenapa, jangan berlebihan." Rans tersenyum, mengangguk menyetujui, begitupun dengan Kaivan dan Rissa.
"Van, ikut gue." ajak Rans sambil beranjak dari duduknya.
Pintu tertutup sempurna. Kaivan berlari kecil menyamakan langkah Rans. Sahabatnya ini, pasti tidak baik-baik saja. Tidak hanya nada suaranya yang melemah, tapi juga matanya seperti lautan tanpa ombak. Tenang, namun terlihat mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dzikir Sendu Sang Perindu ✓
Novela JuvenilJika cinta meninggalkanmu, biarlah cinta pula yang melepasnya pergi.🍁 _________@@@_________ 🌸Fauzi, menjadi seorang militer masuk di Tim pasukan khusus, membuatnya mempertaruhkan nyawanya di Medan perang. Berhadapan dengan musuh bersenjata, dan di...