#10. [Tangisan Pemilik Hati]

14 4 4
                                    

🌀🌀🌀

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌀🌀🌀

Inilah yang terjadi, seberat apapun langkah melangkah, bahagia tetaplah tujuannya.

🌀🌀🌀

'assalamualaikum, Faiha.'

'jangan datang ke pemakaman Fauzi, disini sudah ada orang untuk mengurusnya. Kamu tidak perlu khawatir, Faiha.'

Terbangun dari tidurnya dalam posisi duduk, matanya kembali berair, tapi mulutnya tak kembali merintih mengeluarkan isakan setelah membaca pesan dari Ibu Fauzi.

Wajahnya yang sudah pucat, dengan rambut yang terlihat acak-acakan, dan mata yang terlihat sembab dan sukses kata menyeramkan cocok disematkan untuk gadis itu.

"Aku memang bukan siapa-siapa, jadi, memang tidak perlu datang, bukan?" Kekeh Faiha setelah melepas ponselnya dari genggaman.

Mengabaikan pesan itu, memilih berdiri menuju kamar mandi. Adzan shubuh baru saja berkumandang, tentu hal itu seperti sebuah alarm bagi Faiha sendiri. Menunaikan kewajiban dan mengadu segala kesakitannya pada Dia yang bisa membuatnya tenang dengan bersujud, menyandarkan kepalanya di lantai, dan memohon ampun pada-Nya

Mengadu pada-Nya bukankah jalan pintas yang terbaik? Dia yang menciptakan takdir, Dia juga yang menjadikan ini semua berjalan penuh kejutan. Tapi, bukan apa, Faiha sendiri mulai percaya, apapun yang terjadi dalam hidupnya adalah yang terbaik untuk hidupnya juga, cerita dari-Nya tak pernah salah, dan Faiha, dia hanya butuh waktu sedikit lebih lama lagi untuk sembuh.

Dan jika Fauzi benar-benar pergi, pasti akan ada yang hadir di bumi ini, putra mereka, yah, bayi yang dikandung Tavisha, bisa jadi bayi itu memiliki jiwa seperti Fauzi, Ayahnya?

Mengingat fakta itu dan sadar sholatnya tidak khusyuk, air mata Faiha menetes sekali.

Masih terasa sakit rupanya.

Tak berniat berlarut-larut dalam kesedihan, Faiha memilih tetap berangkat ke studio, mengompres matanya sebelum mandi. Dia tidak mungkin menampakan wajah menyedihkan ini di hadapan sahabatnya, bukan?

Toh, mereka juga tidak mungkin tau berita ini karena belum di publish. Ah, tidak apa, Faiha cukup kuat untuk menunggu berita itu di publish. Tidak hadir di pemakaman pria itu juga sepertinya permintaan Tavisha dan Ibu Fauzi harus terlaksana.

Menjauh dari hidup mereka.

"Dek, sini deh, kakak masak nasi goreng buat kamu." Isvara-satu satunya kakak Faiha.

Melihat putri bungsunya keluar dari kamar, Ibu langsung tersenyum cerah, membuat Faiha mau tak mau ikut tersenyum pula.

"Tumben?" kekeh Faiha mencoba biasa saja.

Vara melepas celemek lalu duduk dengan senyum yang merekah. "Mumpung libur." jawabnya genit.

"Astagfirullah." kekeh Faiha, duduk disamping kakaknya mengambil sedikit nasi buatan sang kakak dan mencicipinya. Satu suap.

Dzikir Sendu Sang Perindu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang