👋🏻👋🏻👋🏻
L
angkah kaki terdengar dari arah pintu, walaupun dirinya sibuk mengerjakan tugas perasaanya peka. Mencoba tidak takut dengan berpikir positif. Jam menunjukan pukul 11 malam, setahu dia semua orang di rumah sudah tidur.
"Kak." Rania menoleh ke arah suara tersebut. Ternyata langkah kaki Evan yang membuatnya sedikit ketakutan.
"Apa?" Wajah Rania kembali datar, sejak tadi keringat dingin yang ia rasakan.
"Gue mau tanya deh."
"Tumben izin dulu, biasanya langsung tanya." Rania masih fokus dengan buku-buku yang ada di atas meja belajar.
"Sini dulu deh."
"Aneh banget." Rania bangkit lalu duduk disebelah Evan yang sedang merebahkan dirinya di kasur.
Pertanyaan yang membuat Evan merasa dihantui. Mungkin pertanyaan ini akan sedikit menyinggung kakaknya. Tapi, daripada dipendam sendiri mending Evan tanya langsung.
"Lo ada perasaan ga sih sama si Ringgam?"
Rania mengatur napasnya sejenak. "Gue ga melibatkan perasaan kalau lagi bareng dia."
"Rasa nyaman sedikit ga ada gitu?" Evan mencari menekan pertanyaannya agar Rania jawab dengan jujur. Seorang adik pasti tahu kakaknya sedang bohong atau tidak.
"Ada. Tapi kenapa nanyain hal itu sih?" Rania mulai kesal dengan sikap Evan yang bertanya seperti itu.
"Tanya doang."
"Udah gue jawab tuh, udah sana tidur gue mau ngerjain tugas lagi." Rania menarik pergelangan tangannya lalu mendorong tubuh Evan keluar kamar.
Karena tubuh Evan lebih besar dibandingkan Rania, hal itu gagal. Evan masih berdiri sambil didorong kakaknya.
"Mau apa lagi?" Rania nyerah badannya tidak kuat mendorong tubuh Evan.
"Gue ada satu pernyataan yang harus lo pilih."
Mendengar hal itu bola matanya memutar. "Apa lagi?"
"Kalau semisal si Ringgam suka sama lo, terus crush juga suka sama lo gimana? Inget ya ini pernyataan doang!" tegas Evan sambil menatap bola mata kakaknya. Ia tahu kalau kakaknya bingung menjawab pernyataan itu.
"Jawaban gue ialah hal itu ga mungkin terjadi."
Rania kembali duduk di kursi belajar. Evan terus minta jawaban yang benar.
"Kita ga tau kedepannya gimana, Tuhan membolak-balikan perasaan. Dengan lo kasih pernyataan gini malah ngebuat gue bingung, Van. Prinsip gue biarkan semuanya mengalir, pertemanan gue sama Ringgam tetep baik. Soal perasaan bisa dinantiin kok." Penjelasannya sontak membuat Evan kaku, ia tak menyangka bahwa kakaknya bisa sebijak itu.
Alasan Evan bertanya ialah memastikan saja, ia masih takut akan Azka yang di Marvelus ialah Aka—crush kakaknya. Ia selalu diajarkan untuk sadar akan beberapa kemungkinan yang akan terjadi kedepannya.
"Oke. Gue puas sama jawabannya, sorry ganggu lo." Suara Evan mengecil, ia pergi ke kamar untuk istirahat.
"Tuh orang kenapa sih," geram Rania. Ia kembali melanjutkan aktivitasnya, tinggal beberapa soal yang dikerjakan agar ia bisa cepat istirahat.
***
Tumben sekali parkiran sekolah masih sepi, biasanya pukul 6.35 sudah berhamburan masuk ke parkiran. Seperti bisa, Evan ke sekolah bareng Rania. Sekarang Rania jarang bawa motor sendiri, memilih dibonceng adiknya atau tidak dijemput Ringgam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania Dan Kisah
Teen FictionSemua yang hadir dalam hidup hanyalah pelengkap. Namun, pelengkap itu bisa saja pergi dan datang kembali dalam waktu yang bersamaan. Ketika hati yang sudah berbalik dari sebelumnya harus beradaptasi kembali. "Gue, Razka dan Ringgam?" Siapa mereka...