17. Kerusuhan di Rumah Evan

21 4 0
                                    

👋🏻👋🏻👋🏻

Kenapa sih pipi lo bisa merah kek gitu?
—Ringgam—


Perlahan langkah kaki Ringgam mendekat ke arah gazebo belakang rumah. Mata Rania masih fokus pada buku yang ia baca sejak tadi.

"Hei."

"Pasti masih bt kan?" Kepala Ringgam dimiringkan dari matanya menguar pertanyaan-pertanyaan.

"Enggak. Tadi tuh pengen cepet pulang." Ringgam sadar jawaban itu tidak benar. Tapi, ia mengangguk seolah-olah percaya.

Dua orang yang duduk di tempat yang sama harusnya saling bicara, sedangkan mereka hanya diam. Tidak ada topik pembicaraan dan obrolan lagi setelah itu. Padahal tujuan Rania ingin minta maaf tapi rasa gengsinya lebih besar.

"Ran."

"Igam."

Kini mereka saling menatap, Rania mencoba membuyarkan tatapan itu dengan melanjutkan pembicaraan.

"Sebenarnya gue kesel tapi ga tau penyebabnya apa."

"Gara-gara ucapan gue ke Bu Lia kan?" Kalau boleh jawab dengan jujur Rania pasti jawab iya. Tapi, hal itu tidak akan terjadi sebab Rania menjaga harga dirinya.

"Enggaklah."

"Yakin?"

Ringgam terus mempertanyakan hal itu sampai Rania merasa muak dan jawab dengan jujur.

"KALAU IYA KENAPA?" Sontak teriakan itu membuat Ringgam kaget. Ia tak percaya Rania akan menjawab dengan jujur.

"Dengerin dulu deh, bentar jantung gue masih berdetak ga normal nih gara-gara kaget teriakan lo, Ran." Ringgam mengusap dadanya dengan tangan kanan agar pernapasannya kembali normal.

Setelah itu Ringgam menjelaskan bahwa itu hanya candaan. Lagian Bu Lia tidak punya anak perempuan, apalagi yang umurnya sama seperti Ringgam. Tadi hanya akal-akalannya sebagai tanda surprise nilai ulangannya.

Ringgam memberikan kertas hasil ulangan. Tertera nilai 75 di pojok kanan kertas. Perubahan yang sangat signifikan, terakhir ia melihat nilai yang Ringgam raih dibawah 50.

Sudut bibir Rania terangkat, ia benar-benar bahagia melihat perubahan itu. Waktu yang ia berikan untuk Ringgam tidak sia-sia. Benar ya, usaha tidak mengkhianati hasil.

"Selamat Gam. Pertahankan terus nilainya jangan sampe turun." Rania memberikan kertas itu kembali.

"Makasih lho. Gue ga bakal gini tanpa lo."

"Itupun karena lo mau belajar juga, kalau enggak nilai lo ga bakal bagus gini."

"Iya deh. Gimana gue ga belajar, orang yang ngajarnya aja cantik." Pipi Rania merona akibat ucapan Ringgam, ia menundukkan sedikit kepala karena malu.

"Pipinya merah gitu, kenapa?"

"Enggak ada ya." Batinnya ingin sekali teriak. Namun, bibir seolah tidak terbuka untuk melakukan itu.

"Kalau salting tuh bilang, jangan nyari alasan terus."

Rania menutup pipi dengan kedua tangan agar Ringgam tidak memperhatikan pipinya yang merah. Kembali mencari alasan adalah jalan ninja agar Ringgam tidak terus-terusan menggodanya.

"Gue kan cantik, jadi gampang banget pipinya merah."

Ringgam menarik alisnya. "Alasan klasik."

"Bisa diem ga!"

"Bisa." Suaranya menirukan suara Rania.

"Lupain aja deh. Btw awas kalau lo cerita ke sahabat gue soal kejadian ini, abis nanti lo ditangan gue." 

Rania Dan KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang