👋🏻👋🏻👋🏻
1
. Rumah kedua Ringgam.
“Gam, lo mau kemana?” tanya Alif yang melihat Ringgam bangkit dari sebelah Azka.
“Telpon bokap.”
Mereka membiarkan Ringgam keluar. Sebenarnya bukan itu tujuan ia keluar, melainkan ia ingin menelpon seseorang yang selama ini selalu jadi tempat untuknya. Ia memantau sekitar agar tidak ada yang mendengar pembicaraannya. Sempat beberapa kali tidak mengangkat telpon, setelah hampir 5 kali baru diangkat.
Ringgam : Ran
Rania : Kenapa? Sorry tadi ada kerjaan dulu
Ringgam : Gue ada masalahMendengar itu, Rania kaget. Apa yang terjadi, tumbenan sekali telpon dan ngasih tau kalau ada masalah.
Rania : Lo dimana? Mau ketemu gue ga?
Ringgam : Boleh, lo minta izin dulu. Kalo bisa, gue jemput sekarang
Rania : Pasti bisa, jemput sekarang.Setelah meminta izin ke Ayah Jaki dan Mama Hau, Rania bersiap-siap dan menunggu kedatangan Ringgam. Hatinya jadi tidak tenang sebelum melihat Ringgam secara langsung. Ia harap tidak terjadi sesuatu yang jauh dari pikirannya.
Sekitar lima belas menit menunggu, Ringgam sampai dengan keadaan sehat dan tidak ada luka sama sekali. Namun, Rania rasa yang bermasalah perasaan Ringgam sedang tidak baik-baik saja.
“Mau ke tempat biasa atau nyari angkringan buat kita ngobrol?” tanya Rania seperti mengerti perasaan Ringgam.
“Bebas, gua ngikut.”
Menyebalkan sekali! Di perjalanan mereka berdua saling diam tak ada yang mengawali pembicaraan. Sambil menunggu, Rania berinisiatif bertanya pada Evan di tempat tongkrongan ada apa sampai membuat sifat Ringgam jauh dari biasanya.
Tadi nonton film pendek, semua pada nangis. Gue juga ikut nangis, cerita anak broken home gitu lah.
Jawaban dari Evan membuat Rania semakin bingung. Apa ini ada kaitannya dengan dirinya atau sesuatu yang menurut Ringgam sensitif.
“Gam, tuh di depan ada angkringan. Kita disana aja ya, ga terlalu rame tempatnya tapi luas,” ujar Rania menurunkan nada suaranya. Biasanya Rania tidak bisa bicara santai pada Ringgam dan untuk kali ini, ia merubah nada bicaranya.
“Okey, sekalian lo pesenin gua makan ya,” pintanya setelah memarkirkan motor. Rania mengangguk saja tanpa menjawab. Sambil menunggu pesanan datang, Rania memulai pembicaraan.
“Kenapa?”
"Lo tanya gue?"
Ingin rasanya menonjok muka Ringgam. Di depannya hanya ada Ringgam, berarti pertanyaan itu untuknya. Namun, sebisa mungkin mencoba tidak emosi di situasi seperti ini.
"Ringgam, lo kenapa?" Rania memperjelas pertanyaannya agar tidak emosi sendiri.
“Oh tanya gue. Gue gengsi harus cerita gini, tapi karena kata lo kalo gue ada masalah harus cerita ya udah.”
“Logat ngomong lo ngeselin, sumpah deh.” Dari tadi Rania mencoba menahan diri untuk tidak mengomentari suara Ringgam yang menyebalkan itu, tapi karena geram akhirnya bilang.
“Emang beda? Perasaan biasa aja, tapi karena lo yang minta, gue rubah deh ya biar logat anehnya ilang.”
Satu pukulan melayang ke lengan Ringgam, bisa-bisanya lagi serius malah bercada kayak barusan.
“Ran.” Ringgam tidak memperdulikan pukulan barusan dan kembali ke topik.
“Apa?”
“Pas waktu gue anter balik dari cafe, lo bilang ada kalanya kita ngalah sama orang tua. Atas dasar apa lo ngomong kayak gitu, Ran?”

KAMU SEDANG MEMBACA
Rania Dan Kisah
Подростковая литератураSemua yang hadir dalam hidup hanyalah pelengkap. Namun, pelengkap itu bisa saja pergi dan datang kembali dalam waktu yang bersamaan. Ketika hati yang sudah berbalik dari sebelumnya harus beradaptasi kembali. "Gue, Razka dan Ringgam?" Siapa mereka...