35. CURIGA

42 3 0
                                    

HAI, SELAMAT MALAM!

JANGAN LUPA UNTUK TINGGALAN JEJAK DENGAN VOTE DAN COMENT!

HAPPY READING!
   ___________________________________

Menghela nafas panjang, Aksa yang tengah berdiri di depan ruangan Aleena dan menatapnya dari balik kaca jendela terlihat lelah, lelah menunggu kesadaran dari adiknya itu.

Saat ini, Aksa yang telah menjaga Aleena, karena Arion harus bersekolah.

Dua hari sudah berlalu, namun Aleena tetap belum siuman, terkadang ia tiba-tiba sesak nafas dan kritis sehingga menyebabkan keluarganya khawatir. Sampai saat ini belum ada titik terang tentang siapa yang sudah menyebabkan El dan Aleena celaka.

El sendiri masih terbaring lemas di atas bed hospital, beberapa kali ia berusaha untuk menghampiri kamar Aleena, namun ia selalu saja gagal karena setiap kali ingin melangkah, kakinya terasa berat dan kepalanya pening.

Pernah saat ia baru tersadar dari obat bius, saat itu Arion datang dan hampir memukul El jika saja tidak di hentikan oleh Aksa yang juga mengikutinya.

‘Bangun pookie...Gue mohon, gue janji sama lo, kalau lo bangun gue bakal turutin semua kemauan lo.’ Batin Aksa.

Ia pun mendudukkan diri karena sudah lelah berdiri dan menunggu Aleena sadar.

Drap... Drap... Drap...

Suara derap langkah kaki seseorang dengan sepatunya terdengar di koridor rumah sakit yang amat hening ini.

“Pulanglah.” Ucap seorang lelaki yang tidak lain adalah Hasan.

Aksa melirik ke samping sekilas, kemudian kembali menundukkan kepalanya.

“Tidak bisa.” Ucap Aksa dengan suara yang terdengar agak lelah.

“Jika kamu tidak istirahat, maka kamu juga akan sakit.” Aksa menegakkan tubuhnya dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi rumah sakit.

“Aku tidak akan tenang jika meninggalkan Aleena untuk sekejap saja.” Hasan mendudukkan dirinya di samping Aksa.

“Biar aku yang akan menjaganya.”

“Tidak.” tolak Aksa keras.

“Kekhawatiranmu tidak akan menyebabkan Aleena sadar.”

                            __________

“Sepi banget, nggak ada Ajeng sama Aleena.” Keluh Cahaya sambil mengaduk-aduk makanannya.

“Iya, kok bisa ya mereka sama-sama nggak masuk. Ajeng juga kenapa enggak ngasih tahu kita, ya.”

Mereka sama-sama menghela nafas panjang, saat mereka sedang asik dengan pikiran masing-masing, seperti ada siulet bayangan yang berada di meja mereka.

“Aleena kemana?” Ghadia dan Cahaya menoleh pada seseorang yang tidak lain adalah Arkan.

Ghadia memutar bola matanya malas. “Kenapa lo nanyain dia, bukannya lo udah jahat sama Aleena. Apa jangan-jangan lo masih ada niatan buat manfaatin dia?” ucap Ghadia dengan kesal.

“Aleena kemana?” Tanya Arkan lagi tanpa mempedulikan ucapan Ghadia.

“Nggak tahu malu banget lo.” ucap Cahaya dengan ketus sambil menyeruput minumannya.

“Arion masuk tapi Aleena nggak, berarti ada sesuatu yang terjadi sama dia. Dia kenapa?” Tanya Arkan berusaha sabar karena memang ia sudah berbuat buruk pada Aleena.

Mereka tetap diam sambil menatap sinis Arkan.

“Ok! Kalian nggak mau jawab, gue bakal cari tahu sendiri Aleena kemana dan kenapa.” Final Arkan kemudian pergi meninggalkan mereka.

“Dari tadi kek.” Ucap Cahaya.

“Kita jenguk Aleena atau ke rumah Ajeng?” Tanya Ghadia bingung.

Cahaya memegang dagunya tampak berpikir.

“Ke rumah Ajeng dulu, Aleena 'kan belum sadar tadi katanya kak Arion.” Ghadia menganggukkan kepalanya.

“Oke.” putus Ghadia.

                           __________

“Kok kelihatan sepi ya?” Tanya Cahaya ketika melihat rumah megah yang terlihat tidak seperti biasanya.

“Bego banget sih lo! 'Kan rumah ini emang selalu kayak gini, kalau rame itu di pasar.” Jawab Ghadia kesal.

“Ck! Hawanya tuh kayak horror gitu, A.”

“Udah nggak usah banyak omong.”

Terdengar derap langkah kaki yang terasa menakutkan bagi mereka. Bulu kudu mereka spontan berdiri karena gugup dan takut.

“Mau bertemu dengan Ajeng?” suara bariton itu sedikit mengagetkan mereka.

“E-eh iya, om.” jawab Ghadia. Ia memainkan jari-jemarinya gugup.

Lelaki itu mendudukkan dirinya di sofa mahal itu dan menatap datar mereka.

“Dia tidak ada di rumah.” Ghadia dan Cahaya saling pandang.

“Kemana om?” Tanya Ghadia lagi.

“Luar kota.” Ghadia mengerutkan dahinya.

“Kenapa Ajeng nggak ngabari kita?” Tanya Ghadia lirih namun masih dapat di dengar oleh lelaki yang tidak lain adalah ayah Ajeng.

“Dia pasti sibuk.” Ucap Lelaki itu.

“Kota mana om?” Tanya Cahaya.

“Kenapa kalian ingin sekali mengganggunya.” Ghadia dan Cahaya menelan salivanya dengan susah, mereka tahu arti ucapan dari ayah Ajeng yang mengartikan untuk tidak perlu banyak bertanya.

“Ah, maaf om. Kalau begitu kami permisi pamit pulang.” Ucap Ghadia.

Mereka kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan rumah megah itu.

“Kok gue jadi curiga ya.” Ucap Ghadia saat keduanya berada di mobil dan jauh dari pekarangan rumah Ajeng.

“Iya aneh banget, biasanya juga Ajeng ngabarin kita. Mana tadi kita malah salah tanya orang lagi.” Gerutu Cahaya saat mengingat betapa canggungnya berbicara dengan ayahnya Ajeng.

Walaupun mereka sering datang ke rumah Ajeng dan bersahabat lama dengannya, saat bicara dengan ayah Ajeng tetap saja canggung, terlebih sikap ayahnya Ajeng yang bisa dibilang otoriter.

Sedangkan di sisi lain, sebuah ruangan yang mewah dengan seorang gadis terbaring tidak sadarkan diri.

“Kapan dia akan sadar?”

Dokter yang tengah memeriksa Ajeng itu pun menoleh pada lelaki itu dan tersenyum tipis.

“Secepatnya ia akan sadar, kondisinya juga mulai membaik.” lelaki itu menatap putrinya dengan pandangan yang sulit di artikan oleh siapapun.

“Pergilah!” Perintah lelaki itu pada dokter, kemudian dokter itu pamit undur diri dan melenggang pergi.

“Kenapa kamu keras kepala.” Ucap lelaki itu dengan lirih dengan kedua tangannya yang berada di saku celananya.

“Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.” pandangan lelaki itu tampak kosong.

Minggu, 04 Juni 2022

TERIMA KASIH TELAH MEMBACA CERITA INI.

SEMOGA KALIAN SEHAT SELALU.

ALEENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang