Langkah seorang pemuda tampak terayun gugup. Padahal koridor sekolah belum terlalu ramai dengan lalu-lalang para pelajar menengah atas. Masih terlalu pagi. Perasaan tak enaknya yang membawanya keluar dari pondok tepat setelah kegiatan pagi di pondok usai. Barangkali sejuknya udara pagi mampu menenangkan perasaannya yang kalut.
Usai meletakkan tas di kelas, dirinya terduduk di depan kelas, bersandar pada pilar. Udara sejuk menerpa wajahnya tanpa henti. Seiring mulut yang terus melafalkan zikir dan tangan yang tak hentinya menggulirkan butiran tasbih.
Puluhan menit berlalu, tetapi dirinya tetap tak beranjak. Padahal riuh suara pelajar lainnya telah menggema memenuhi setiap sudut sekolah. Jika saja suara wanita tak memanggil namanya, mungkin hanya bel masuk yang bisa membuatnya beranjak.
“Gus Zain!”
Ya, namanya Zain. Abnazain Arrayan. Pemuda kelahiran kota Patria itu lantas menoleh ke arah sumber suara. Terlihatlah seorang wanita yang tampak basah matanya. Perasaan kalutnya lantas kembali singgah.
Gus Zain lantas beranjak dan bertanya, “Kenapa, Ning?”
“Saya bingung ngomongnya gimana.” Wanita tersebut hendak terisak. Menambah kebingungan Gus Zain.
Tanpa mereka sadari, tak jauh dari tempat mereka berdua berdiri pun ada seseorang yang tengah bingung pula. Bingung terhadap reaksi perasaannya saat melihat kedekatan keduanya. Seakan tak terima, tetapi tak berani bertindak akan rasa tak terimanya.
“Ngomong aja, Ning. Nggak apa-apa. Saya jadi ikutan bingung juga kalau njenengan kayak begini.” Bibirnya masih dipaksakan tertawa meskipun wanita di hadapannya kini telah terisak. Menarik netra di sekitar untuk ikut memandang.
“Umi, Gus.”
***
Dengan cepat Gus Zain melangkahkan kaki hendak menuju halaman depan. Bahkan wanita di belakangnya kesulitan menyeimbangkan langkahnya. Mata merahnya yang menahan tangis turut mengundang atensi sekitar.“Kapan, Ning?” tanyanya setelah memperpendek jarak antara keduanya.
“Tadi pagi, Gus. Tadi yang lain udah duluan ke sana.” Hening. Tak ada lagi kata yang terlontar hingga sampailah mereka memasuki mobil yang akan menghantarkan keduanya ke rumah Gus Zain.
Kurang lebih satu jam perjalanan bukanlah waktu yang singkat. Bahkan terlampau lama untuk diri yang ingin segera bertemu dan netra yang ingin lekas memandang. Meskipun entah nanti kaki akan mampu menopang diri yang runtuh atau justru tak kuat lantas memilih menyendiri. Sama seperti yang ada di benak Gus Zain saat ini. Apakah kini dirinya sendiri?
Perjalanan diselimuti keheningan. Sekuat tenaga Gus Zain menahan air mata agar tak terjun bebas membasahi pipi. Menjadi lelaki harus kuat bukan? Namun, jujur saja, kini dirinya seakan kehilangan arah. Akan ke mana setelah ini dirinya menumpahkan segala keluh kesah tanpa dilontarkannya sebuah kalimat menjadi laki-laki haruslah kuat.
“Kalau njenengan mau menangis, nggak apa-apa, Gus. Laki-laki juga boleh menangis.” Wanita yang duduk di kursi belakang berucap mempersilakan.
Gus Zain lantas menoleh. Dia hanya tersenyum seraya menggelengkan kepala. Akan tetapi, mata tak bisa berdusta. Tatapan kosongnya, matanya yang memerah membendung air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...