Part▪︎5

90 7 0
                                    

Kegiatan menfess kian ramai menjadi tranding topik perbincangan seantero sekolah. Baru beberapa hari akun Instagram menfess dibuat, pengikutnya telah menyentuh angka seribu lebih. Mungkin karena program ini cocok untuk para remaja yang rata-rata tengah dilanda jatuh cinta. Sedang bucin-bucinnya, tetapi tak memiliki cukup keberanian untuk mengungkapkan secara langsung.

Atau mungkin memiliki keberanian, tetapi terhalang diri sendiri yang tahu batasan terhadap yang belum halal. Mungkin juga ragu, takut rasanya bertepuk sebelah tangan ketika mengungkapkan dan berujung benar-benar mencintai sendirian.

Hari demi hari berlalu, terus berdatangan siswa-siswi yang berminat bergabung menjadi anggota jurnalistik. Tentu saja Gus Zain dengan senang hati membuka lebar pintu, mempersilakan untuk bergabung.
Banyak sekali pula pesan dari anonim yang masuk melalui Google Form. Gus Zain memang ikut memantau pesan-pesan yang masuk, tetapi bukan tugasnya mengunggah pesan-pesan tersebut ke media sosial. Tidak bisa setiap saat juga dirinya mengecek pesan-pesan tersebut. Mengingat dirinya yang memiliki jadwal cukup padat dan terikat aturan pesantren.

Lucu sekali. Ada yang menunggu namanya disebut. Tidak sedikit juga yang mengungkapkan kekaguman dan cinta, entah antar satu kelas, beda kelas, bahkan beda angkatan. Gus Zain hanya berharap, semoga mereka dan dirinya bisa menjaga kesucian cinta yang tak salah dengan menyikapi rasa itu dengan benar.

“Heh! Wah, berani banget.”

“Diem bisa nggak, sih. Ada orangnya.”

“Loh, iya. Ngapunten, permisi, Gus.”

Gus Zain yang merasa tak apa-apa atas perbincangan kedua siswi tersebut pun hanya mengangguk seakan mempersilakan dan kembali memfokuskan diri pada layar ponsel yang sedari tadi tengah ia gulir.
Kursi dekat greenhouse. Di sinilah saat ini Gus Zain. Sendirian. Dekat deretan gedung ruang kelas sepuluh dan sebelas. Jauh dari gedung ruang kelasnya berada. Akan tetapi, dia merasa ada seseorang yang sedari tadi tengah memperhatikannya.

“Perasaanku aja kali, ya,” gumam Gus Zain.
Gus Zain tidak mengasingkan diri. Dia hanya sedang ingin sendiri. Entahlah juga, Hasbi yang sejak perlombaan saat itu biasanya memunculkan diri di hadapannya kini seolah menghilang ditelan bumi.

“Berani banget loh si mbaknya.”

“Aku katakan si pemberani.”

“Ya enggaklah. Kalau berani, ya ngomong langsung.”

“Kan, udah dibilang di situ. Minder.”

“Pokoknya mbaknya udah mewakili kita. Dah, gitu aja.”

“Eh, itu Gus Zain.”

Suara-suara perbincangan para siswi yang tengah duduk di depan kelas mereka menyelusup ke telinga Gus Zain. Merasa terusik karena kali ini menyebut namanya, dirinya beranjak hendak kembali ke kelas. Mengingat jam istirahat juga tak lama lagi akan berakhir.

Sepanjang perjalanan menuju kelas, telinganya tak henti-hentinya mendengar obrolan yang serupa. Menfess dan wanita pemberani. Gus Zain senang programnya berkembang pesat, bahkan dalam kurun waktu belum seminggu lamanya.

Namun, dia merasa ada sesuatu dengan menfess tersebut. Bergegas, dipercepat langkahnya menuju kelas. Dengan diiringi perbincangan yang tetap serupa, lagi-lagi namanya disebut. Bisa-bisanya dia tak tahu apa-apa.

Sesampainya di kelas, Gus Zain lantas membuka ponsel dan melihat akun media sosial menfess. Sudah puluhan postingan terunggah dan … ya, ada namanya di antara postingan-postingan tersebut.

From : Siapalah aku
To      : Gus Zain
Message :
Gus, maaf karena telah lancang mengagumi njenengan. Walaupun memiliki rasanya nggak mungkin, boleh saya tetap mengagumi njenengan? Bahkan sekalipun nggak boleh, saya akan tetap mengagumi njenengan. Egois memang, tetapi rasanya sulit melepas dan melupakan njenengan meskipun selama ini saya tak pernah menggenggam. Lagi pula ini tentang perasaan saya seorang diri, sepihak.

“Gus, udah baca belum?” tanya teman sekelasnya, perempuan.

“Baru baca.” Meskipun pertanyaan tersebut tak jelas konteksnya, tetapi sudah pasti arahnya.

“Lama-lama ngirim surat, sih, kayaknya. Soalnya kalimatnya kepanjangan. Nggak muat, hehe.” Gus Zain hanya tersenyum menanggapi. Dirinya sedang berpikir, kira-kira siapa pengirimnya.

Senyum yang selalu membuat jamaah wanita yang hadir saat dirinya tengah mengisi acara selawat menjerit tak keruan memekakkan telinga, tetapi menjadi biasa saja di hadapan teman-teman sekelasnya.

“Kira-kira siapa, ya, Gus? Puitis banget, lho.”

“Nggak tau juga. Nggak ada namanya.” Benar juga jawabannya Gus Zain. Dia tak salah.

“Nggak ditelusuri gitu? 'Kan, ini program njenengan.”

“Kita menjamin identitas asli pengiriman,” jawabnya singkat.

“Kalau yang tau njenengan aja nggak apa-apa kali, Gus. Barangkali mau ditindaklanjuti. Dihalalkan gitu misalnya, haha.”

Opo tah sampean iki? Wes, sinau sing sregep sek.

Nggih-nggih, Gus. Ngapunten.”


***


“Ning Nadia bukan, sih?”

“Kayaknya.”

“Enggak deh. Kalau iya, udah sat set sat set kali. Matur abahe njaluk rabi, besoknya langsung dipanggil zaujati.”

“Anak TK, ya? Cinta nggak segampang itu kali. Walaupun kelihatannya Gus Zain sama Ning Nadia cocok kalau berjodoh.”

Bahkan sampai pulang sekolah, tak henti-hentinya obrolan itu terdengar di telinganya. Entahlah. Gus Zain tak habis pikir, kenapa sepertinya topik pembicaraan para wanita tidak akan ada habisnya. Selalu ada saja yang dibicarakan. Entah besok-besok apalagi yang akan dibicarakan.

Gus Zain menepi sebentar. Membuka ponsel dan mengetikkan sesuatu. Tak lama karena kecepatan mengetiknya yang bisa dikatakan sangat cepat.

[ Besok kumpul jurnalistik, ya. Jangan lupa. Jam istirahat pertama. Kalau mau salat Duha dulu nggak apa-apa. Tapi jangan sampai ketiduran di musala. Bagi yang nggak hadir, jangan lupa kasih keterangan. ] Terkirim.

***

Jangan lupa kritik dan saran🙏

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang