Part▪︎29

52 5 6
                                    

Antara bersyukur dan rasa rendah diri Ahwa menerima ajakkan Ning Nadia untuk menghadiri acara liwetan tersebut. Kedatangannya pada malam itu Ahwa anggap sebagai salam perpisahan untuk Ning Nadia karena mereka terhitung saling kenal meski tidak terlalu dekat. Dikarenakan Kirana tidak hadir karena ada masalah kesehatan, maka Ahwa harus berani datang sendiri ke pondok pesantren tempat acara liwetan dilaksanakan.

Acara sederhana yang diadakan oleh Ning Nadia pada malam itu sungguh kekeluargaan. Ahwa melihat para santriwati dan santriwan berlalu lalang menyiapkan acara tersebut dengan antusias. Sampai di halaman pondok, Ahwa masih bingung harus apa sebab belum bertemu Ning Nadia yang hanya ia kenal. Hingga Ahwa melihat sosok Jihan yang lumayan Ahwa kenal, daripada tidak ada teman sama sekali maka ia putuskan untuk menghampiri Jihan dan menyapanya.

Jihan menyambutnya dengan datar dan biasa saja, sebab dari awal gadis itu seperti tidak suka dengan seorang Ahwa. Di saat akan memulai obrolan, tiba-tiba seorang santriwan berpapasan di sebelah Ahwa dan memberi salam lalu mengucapkan pujian yang diperuntukkan pada Ahwa.

"Masyaallah, cantik-cantik sekali, ya, teman-temannya Ning Nadia," kata salah satu santriwan.

Ahwa menanggapinya dengan biasa saja dan beristigfar di dalam hati agar tidak terlena karena dipuji. Sedangkan Jihan yang ada di sana juga bergumam kecil. "Cantik gak menjamin akhlak."

Meski Ahwa masih bisa mendengar gumaman Jihan, gadis enggan untuk mempersalahkannya. Toh, apa yang diucapkan Jihan juga tidak sepenuhnya salah. Karena tidak ada lagi obrolan antara Ahwa dan Jihan, maka keduanya sama-sama menuju aula tempat acara liwetan berlangsung.

Di sana Ahwa sempat menyapa Ning Nadia meski tidak lama, karena sang tuan rumah itu sibuk mengatur kegiatan. Mata Ahwa tak henti-hentinya melihat beberapa santriwati yang berlalu lalang, mereka tampak memakai pakaian sederhana namun tingkah laku begitu sopan yang mencerminkan orang berilmu.

Terbesit kembali rasa minder yang tidak pernah absen menghinggapi batin Ahwa. Sudah sekian kali Ahwa membandingkan dirinya dengan orang yang menurutnya pantas dikagumi, seperti halnya para santri di pondok saat ini. Jika dibandingkan dengan Ahwa, santriwati di sini lebih sedikit pantas mengagumi sosok Gus Zain.

Ingin maju tapi merasa tidak pantas, dan jika mundur akan terasa sulit jika melihat sudah sejauh ini Ahwa melangkah pada cintanya. Padahal alasan untuk Ahwa mengakhiri cintanya sudah teramat jelas, yaitu perbedaan kufu antara ia dan Gus Zain.

Bila terus membahas mengenai rasa minder yang Ahwa rasakan mungkin tidak akan usai hanya dengan satu paragraf saja, sebab ini soal hati. Maka, Ahwa sendiri pun memilih menampik kegalauan hatinya dan ikut berbaur dalam acara malam itu.

Semua berjalan lancar dan penuh kekeluargaan, dan Ning Nadia tampak akrab serta senang karena malam terakhir dia di tempat itu disambut antusias. Setidaknya ada kenangan menyenangkan yang akan Ning Nadia bawa ke negeri orang untuk belajar.

Usai acara liwetan, Ahwa dan Jihan dibawa Ning Nadia untuk dikenalkan pada kedua orang tuanya. Ini merupakan suatu hal yang langka, karena tak sembarangan orang bisa bertegur sapa dengan sosok tokoh agama yang dihormati. Ahwa dan Jihan tentu menyambut baik dan senang begitu pun dengan abah Ning Nadia yaitu Kiai Abdullah dan juga umi Laila. Dalam ruangan itu juga ada Ning Nadia yang mencairkan suasana agar kedua temannya itu tidak terlalu kaku atau tegang bila berhadapan dengan abah dan uminya.

Mereka mengobrol ringan, akan tetapi di tengah obrolan Jihan berseloroh untuk berpamitan lebih dahulu.

"Kulo mau mengantar Jihan ke depan dulu, Abah, Umi," kata Ning Nadia dengan sopan. Gadis itu meninggalkan Ahwa yang masih di sana bersama umi Laila dan Kiai Abdullah.
Keadaan itu membuat Ahwa menjadi kaku kembali, ia tidak cukup ahli menyambung obrolan yang sudah terhenti. Terlebih kekakuan semakin kuat ketika Kiai Abdullah bertanya.

"Kamu berteman juga dengan Gus Zain?"

"Nggeh, berteman," jawab Ahwa.

"Soal menfess itu kamu tahu gak? Para santriwati sempat banyak yang membicarakan hal ini," sambung umi Laila yang kini membuat Ahwa dibuat gigi bibir bawah. Sebab ia tak menyangka kabar menfess di sekolah bisa sampai ke pondok.

Ahwa menundukkan pandangan sebentar, lalu mengangguk kecil. "Tahu, Umi. Itu berita lama."

Kiai Abdullah menyungging senyuman tipis ketika melihat gelagap Ahwa. Beliau seolah tahu dan bisa menyimpulkan sendiri mengenai jawaban yang diberikan Ahwa, tanpa bertanya lagi beliau tahu jawaban atas pertanyaannya sendiri. Yaitu, mengenai siapa si pengirim menfess.

"Gadis yang mengirimkan pesan rahasia pada Gus Zain itu memiliki keberanian layaknya Ibunda Khadijah, namun juga memiliki sifat pandai memendam layaknya Fatimah Az-Zahra. Tapi caranya memulai kisah cintanya lah yang membingungkan banyak orang dan kisah itu malah menjadi konsumsi khalayak," tutur Kiai Abdullah.

Ahwa terdiam mendengarkan, dan tanpa sadar ia meremas-remas jemarinya karena merasa tertampar oleh kata-kata Kiai Abdullah.

"Nduk, kamu pasti nanti akan mencintai seorang pria. Pesan saya, sebelum kamu mulai melangkah memperjuangkan kisah cintamu, teguhkanlah rencanamu pada satu cara. Pilih antara cara keberanian atau justru diam." Beliau menitipkan wejangan pada Ahwa, dan itu terus menyadarkan Ahwa mengenai caranya memulai kisah cinta yang membingungkan.


***


Nasihat-nasihat yang diberikan Kiai Abdullah seolah memberi tanda tanya besar mengenai, apa kali ini cara Ahwa pun membingungkan? Dengan menjalin proyek bersama Gus Zain, dan seolah memaksakan diri untuk berani namun nyatanya lubuk hati ingin tetap diam.

Mau ke mana arah tujuan Ahwa dalam mencintai sosok Gus Zain? Ahwa seperti kehilangan arah dan tidak teguh dalam memutuskan sesuatu. Selalu saja goyah oleh peluang. Langkah kaki kecil Ahwa saat pulang dari acara malam itu seolah tak ada rasa menapaki bumi, kepalanya penuh dengan tanda tanya dan pergulatan batin.

Ahwa terhenti di halte bus yang akan mengantarnya pulang. Ia terduduk di sana seraya membuka ponsel, ralat lebih tepatnya membuka file proyek menulisnya bersama Gus Zain. Di sana hanya tertera satu lembar tulisan saja, Ahwa bingung melanjutkannya bagaimana.

Di tengah kebingungannya, ponsel yang dipegang berdering menampilkan notifikasi panggilan dari Hasbi.

"Waalaikumsalam." Ahwa mengangkat panggilan tersebut.

"Tadi diundang ke acara liwetan Ning Nadia? Gimana seru? Baik-baik aja 'kan?"

Ahwa mengembuskan nafas, "Nggak baik-baik aja." Dan langsung menutup panggilan tersebut tanpa salam ataupun mendengar penuturan lain dari Hasbi.

Di saat gadis itu akan memasukkan ponselnya ke saku, panggilan telepon kembali masuk. Tanpa melihat siapa yang memanggil, Ahwa lantas mengangkatnya. "Nggak baik-baik aja. Jujur, nih. Makannya beda dari yang lain jawabannya."

Tapi tiba-tiba terdengar salam dari suara yang sudah lama Ahwa tidak dengar. "Assalamualaikum, Ahwa."

Ahwa terperanjat dan sempontan mengecek nama kontak yang sedang bertelepon dengannya. Ternyata itu adalah Gus Zain. Ahwa mengaduh malu di dalam hatinya.

"Maaf, Gus. Saya tidak tahu kalau njenengan yang menelepon."

"Tidak apa-apa. Saya juga minta maaf karena susah dihubungi," sahut Gus Zain dari ponsel.

Tiba-tiba tercetus dalam benak Ahwa, 'Susah juga buat ngasih tahu perginya ke mana karena bukan siapa-siapa.'

"Oh, iya. Gimana cerita kita?" Gus Zain bertanya.

Namun malah lagi-lagi dijawab oleh batin Ahwa, 'Cerita kita yang mana? Memulai aja engga.'

Tapi karena tak mungkin menjawab dengan demikian secara lantang, maka Ahwa mengucapkan hal lain. "Belum jalan banyak. Padahal udah beberapa tahun."

"Susah, ya, ber ekspetasi? Soalnya realitasnya terlalu nyata di depan mata."

Ahwa diam, tapi raut wajahnya sangat berbanding terbalik. Matanya memerah seolah akan menangis dan mulutnya sudah tak tahan untuk melampiaskan kekesalan karena ucapan Gus Zain. Tapi karena masih ada pikiran waras, maka Ahwa menutup telepon terlebih dahulu. Kemudian, mendumel lah ia sepuasnya mengenai maksud Gus Zain menelepon hanya untuk berbicara seperti itu.



***

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang