Beberapa tahun kehidupan berjalan layaknya kehidupan biasa, tak ada porsi berlebihan untuk perihal hati. Hanya kehidupan seorang manusia yang menjalani apa yang tengah ada di hadapan. Tidak lagi memandang, menerawang jauh takdir-takdir yang bahkan barulah sekadar angan belaka.
Ahwa dan Hasbi yang menjalani kesibukannya dalam hari-hari sebagai pelajar, menuntut ilmu di tanah air, serta Ning Nadia dan Gus Zain yang kini masih menimba ilmu di negeri orang. Mereka semua menjalani porsi kehidupannya masing-masing untuk saat ini.
Bulan Ramadan telah datang, beriringan dengan persiapan kelas 12 untuk menghadapi ujian kelulusan yang tidak lama lagi akan menemui waktunya. Seharusnya memikirkan ujian telah cukup membuat pikiran seorang Ahwa terisi penuh, tak tersisa ruang untuk memikirkan hal yang tidak seharusnya menempati ruang pikiran.
Berbeda dengan yang berada jauh di sana. Awal Ramadan, Gus Zain menjadikan waktu ini untuk pulang ke tempat kelahirannya. Tidak melupakan ilmu yang sedang ditimbanya, hanya menepi sejenak, menawar rindu yang ingin menemui perjumpaan.
Sejak beberapa hari yang telah berlalu, Gus Zain telah melangkahkan kakinya di tanah kelahirannya ini. Hingga hari ini, abahnya mengajak Gus Zain untuk menyambangi kediaman abi dari Ning Nadia.
“Pripun, Gus?”
“Apanya, Bah?”
Kalimat saling tanya itu terlontar sebelum keduanya memasuki rumah Kiai Abdullah—abi Ning Nadia. Gus Zain yang tidak menangkap maksud pertanyaan sang abah hanya bisa berbalik tanya. Baginya, semua terasa membingungkan sejak dirinya menginjakkan kaki di bandara penerbangan Indonesia.
Dirinya tiba-tiba saja bingung harus bahagia atau berekspresi seperti apa. Seharusnya dirinya senang, sesuai dengan bayang-bayang yang melintas di benaknya saat masih di Yaman. Membayangkan akan bertemu sang abah, keluarga lainnya, dan ... ah, tidak bisa bertemu.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Kedua lelaki yang berusia hampir setengah abad ini saling bersalaman secara takzim. Bahkan untuk beberapa detik Gus Zain seakan terlupakan, tidak terlihat keberadaannya. Akan tetapi, hanya beberapa detik saja. Setelah kedua lelaki itu usai dengan kegiatan salamannya, Kiai Abdullah langsung memfokuskan netranya memandang ke arah Gus Zain.
“Masyaallah, Gus!”
Gus Zain bergegas mencium punggung tangan pemilik suara itu. Diraihnya tangan yang harum itu dsn diciuminya untuk beberapa kali.
“Gimana kabarnya, Gus?” tanya Kiai Abdullah.
“Alhamdulilah baik, Bi. Abi pripun kabare?”
“Alhamdulillah baik juga. Kamu pergi, istri abi pun masih tetep satu.” Jeda sepersekian detik. Mereka bertiga tertawa sejenak sebelum akhirnya Kiai Abdullah mempersilakan untuk masuk. “Ayo, masuk-masuk. Lah, kok, masa ngobrolnya di depan pintu.”
Selain tidak sepantasnya, kasihan juga kepada beberapa santriwati yang harus menahan teriakan histeris yang padahal memaksa terlontarkan dari mulutnya demi menjaga adab kepada seorang yang lebih tua atau kiai.
Obrolan pada perjumpaan kali ini menjadikan Gus Zain memilih memperbanyak sikap diam, berbicara seperlunya saja atau berbicara panjang hanya saat diminta menceritakan bagaimana kehidupannya saat menuntut ilmu di negeri seribu wali itu.
Obrolan kedua laki-laki di hadapannya ini terus-menerus menyinggung tentang hal yang tidak dirinya sukai. Benar-benar alur hidupnya sebagai gus tercatat akan pasti seperti itu jika tebakannya akan arah tujuan akhir obrolan ini benar.
Benaknya perlahan mulai bekerja, menyusun kembali segala kemungkinan yang sebelumnya telah tertata rapi. Ada rasa bingung harus tetap mempertahankan keinginannya atau mengikuti alur hidupnya yang rasa-rasanya akan terancang dengan jelas seusai obrolan ini. Tentu yang memenangkannya adalah takdir-Nya, tetapi yang mana takdir untuknya dari-Nya.
“Pokoknya saya yakin sama sampean, Gus. Kita menjadikan semuanya lebih jelas dari awal saja. Masalah kapan terlaksananya, itu terserah sampean sama Ning Nadia yang akan menjalani.” Kiai Abdullah berucap dengan semangat.
“Gimana, Le? Sampean mau, 'kan? Abah nggak memaksa. Kamu sudah tau sendiri mana yang baik dan nggak untuk hidupmu. Kalau abah, tentu pengin yang terbaik buat kamu.” Gus Zain hanya bisa terdiam saat abahnya ikut menimpali.
Sungguh, apakah memang harus seperti ini garisan takdir seorang gus, pikirnya. Gus Zain terdiam sejenak. Dirinya bingung harus menyahut bagaimana. Takut melukai hati abah dan abi Ning Nadia, tetapi takut juga melukai hatinya sendiri. Haruskah memang seperti itu, seseorang mengorbankan hatinya sendiri demi menyelamatkan hati orang lain?
“Ngapunten, Bah, Bi. Apakah Ning Nadia bersedia?” Bukannya menjawab terkait kebersediaannya atau tidak, Gus Zain justru menanyakan kebersediaan Ning Nadia.
“Insyaallah, Nadia bersedia.” Dengan mantap Kiai Abdullah menjawab demikian.
“Nyuwun pangapunten, Bah, Bi. Ini terjadi terlalu cepat bagi Zain. Bahkan Zain sendiri belum ada kepikiran menuju ke sana. Bukan maksud Zain buat menolak, tapi kula butuh waktu buat berpikir. Pasti, sudah pasti Ning Nadia orang yang baik, tapi apakah Zain juga baik untuk Ning Nadia? Kula nyuwun waktune buat berpikir dan memutuskan.”
Tampak raut kecewa terukir jelas di wajah keduanya. Tentu ini bukan akhir yang diinginkan keduanya dan bukan pula yang diinginkan oleh Gus Zain sendiri. Kepulangannya ke Indonesia bukan untuk menambah beban pikiran.
“Abah beri waktu sampai besok. Bagaimana?”
Gus Zain terbelalak tidak percaya dengan tawaran abahnya. Hanya sampai besok? Bahkan untuk menenangkan pikiran agar tidak salah mengambil langkah pun baginya memerlukan waktu yang lama.
“Besok, Bah?” Barangkali telinganya salah mendengar.
“Nggih, Gus. Lebih cepat lebih baik, sebelum sampean kembali ke Yaman lagi. Biar semuanya jelas dulu.” Bukan abahnya yang menjawab, melainkan Kiai Abdullah.
***
Kedua kakinya melangkah perlahan, hendak memasuki tempat yang telah menjadi tempatnya mengukir kenangan selama tiga tahun. Rasanya hidup lucu sekali. Ah, tidak. Bukan hidup, tetapi Gus Zain merasa dirinya sendiri yang lucu.
Saat duduk di bangku menengah atas dan menghadapi sekelumit masalah, ingin rasanya dirinya mempercepat waktu. Barangkali kehidupan setelah sekolah akan lebih mudah untuk dilaluinya, dan sepertinya memang akan lebih mudah.
Namun, kini dirinya benar-benar tertawa. Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah atas, tepatnya hari ini, dirinya ingin sekali kembali menyandang status sebagai pelajar putih abu-abu. Memasuki usia legal rasanya berat baginya.
Hidup memang seperti itu. Setiap bagian akan menemui rintangan dan masalahnya tersendiri. Segalanya tidak akan berkesudahan karena segala rintangan itu yang menguatkan dan ikut serta memberi pelajaran.
“Ahwa!”
“Gus Zain?”
Gus Zain berjalan mendekati pemilik nama itu. Sebuah pertemuan yang tak terduga. Mereka berdua kini terduduk di warung bakso depan sekolah yang tidak sedang dipakai untuk berdagang mengingat ini siang bolong di bulan Ramadan.
“Apa kabar?” Gus Zain mengawali.
“Alhamdulillah, baik.” Ahwa merasa canggung. Sudah lama keduanya tidak saling berkomunikasi. “Kok, bisa ada di sini, Gus? Bukannya sampean masih harus di Yaman?
“Saya pulang kampung sebentar. Kangen kalian, jadi ke sini. Kangen kumpul kayak waktu saya masih sekolah di sini maksudnya. Kebetulan tadi saya habias dari rumah abinya Ning Nadia sama abah saya, dan abah saya ada acara sebentar di pondok pesantren punya beliau, abinya Ning Nadia. Jadi saya memutuskan ke sini dan nggak sengaja ketemu kamu.”
Ahwa hanya menganggukkan kepala untuk menanggapi jawaban panjang Gus Zain. Dirinya bingung harus bersikap seperti apa. Ada rasa terkejut, bahagia, dan canggung. Pertemuan ini benar-benar tidak terbayangkan olehnya.
“Bagaimana cerita kita?”
“Cerita yang mana, Gus? Memulai sa–, oh iya, Gus. Belum selesai.”
“Maaf, saya susah dihubungi.”
“Saya paham, kok, Gus.”
Hening. Keduanya terdiam. Gus Zain tenggelam bersama pikirannya, Ahwa tertahan dengan segala upayanya yang berujung sia-sia. Akan tetapi, kali ini Ahwa yang memilih kembali memulai topik pembicaraan.
“Ehmm, cerita di buku kecil itu bagus. Saya suka, tapi saya sendiri juga jadi bingung menuliskannya,” puji sekaligus keluh Ahwa.
“Semua cerita di buku kecil itu hanya fiksi yang kebetulan datang tiba-tiba melintas di pikiran saya, jadi saya tulis. Kamu nggak perlu berangan terlalu jauh buat menuliskannya.” Beda. Semua yang terlontar sungguh berbeda dengan apa yang telah dirancang Gus Zain beberapa hari sebelum kepulangannya.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...