Part▪︎43

89 3 0
                                    

Orang bilang masa paling baik ialah masa remaja, namun ada juga mereka yang menyebut masa paling baik ada ketika mereka jadi anak-anak. Hidup seolah tanpa beban, tanpa harapan dan tekanan orang-orang sekitar. Masalah yang dialami anak-anak hanya tentang jatuh ketika bermain, direbut mainan, dan omelan ibu saat menghentikan aktivitas bermain. Sedangkan menjadi dewasa, banyak hal yang memenuhi isi kepala dan waktu yang terus mengejar. Kadang di antara mereka ada yang sibuk beraktivitas tapi pikiran kosong, ataupun diam tapi pikiran terus berlalu lalang.

Seperti yang terjadi saat ini pada pria yang acapkali dipanggil Gus. Ia terduduk di depan rumah melihat para santri diniyah yang berlalu lalang bermain, dan sembari memikirkan betapa menyenangkannya menjadi anak-anak. Untuk bisa kembali ke masa itu semua orang tidak memiliki kuasa.

"Aduh!"

"Inalillahi!" Gerakan cepat diberikan Gus Zain ketika melihat salah seorang anak terjatuh di hadapannya akibat berlarian. Ia membantu dan melihat apakah ada luka di kaki atau tangannya. "Hati-hati kalau lari. Untung saja tidak ada luka, sudah anak jagoan gak boleh nangis. Sana main lagi."

Anak laki-laki itu mengangguk sembari menyeka air mata yang tidak jadi keluar, mungkin malu untuk menangis di hadapan Gusnya. "Matur nuwun, Gus." Hanya itu yang diucapkannya lalu kembali bermain.

"Sudah cocok, Gus."

Suara lembut yang tidak asing ditelinga membuat Gus Zain menoleh ke samping dan tersenyum. Ia mempersilahkan sang abah untuk duduk. "Apa yang cocok, Bah?"

"Kamu. Sudah cocok jadi abah seperti abah," jawab abahnya dengan ketawa ringan, Gus Zain juga tertawa.

"Tidak ada yang bisa menandingi orang tua seperti abah. Zain masih harus banyak belajar lagi."

Pria tua di sampingnya kemudian menatap serius sang anak. "Jadi gimana, le?"

Seolah tahu maksud dari pertanyaan tersebut, Gus Zain menarik nafas begitu dalam. "Zain masih bingung, Bah. Apakah abah ikhlas dan ridho dengan keputusan, Zain?"

"Abah ikhlas. Apa justru sampean yang gak yakin?"

"Zain yakin, Abah. Tapi hanya takut takdir tak terjadi sesuai harapannya."

"Bismillah, nggak ada yang salah dari tindakan sampean. Yang salah itu melawan takdir. Bahkan sebaik apa pun seorang hamba merencanakan sesuatu, yang terjadi ya yang sudah Gusti Allah kehendaki."

Jika sudah melibatkan Allah dalam takdir, kita hanya perlu yakin guna menjalaninya. Mengenai sesuai harapan atau tidak pasti itu yang terbaik. Berbeda jika melawan takdir itu sendiri, maka akan takdir itu akan berbalik arah sebagai senjata menyakitkan.



****



"Aih, ada apa dengan mereka," gumam seorang pria yang kebingungan karena para santriwati di sana berteriak histeris ketika ia baru memasuki pekarangan rumah Ning Nadia. Apakah ada yang aneh dengan wajahnya atau bagaimana, hingga membuat mereka histeris. Jarinya menggaruk tengkuk pertanda kebingungan. Dan lalu, seseorang yang ingin ditemuinya tak kunjung menampakkan diri.

"Aduh, Hasbi. Aku minta maaf, pasti kamu gak nyaman." Wanita cantik muncul dari pintu dan menghampiri Hasbi yang masih berdiri di pekarangan.

Ya, pria itu adalah Hasbi. Dengan tampilan rapi dan coolnya mampu mengagetkan para santriwati, karena selain keluarga ndalem tak ada tamu setampan dia. Hasbi pantas untuk percaya diri.

"Ah, tidak apa-apa. Hanya kaget dan bingung saja." Hasbi tertawa dan Ning Nadia tersenyum tipis.

"Monggo, ke dalam duduk." Ning Nadia berjalan terlebih dahulu lalu diikuti Hasbi.
Sampailah Hasbi dipersilahkan duduk di ruang biasa menerima tamu, lalu Ning Nadia meminta tolong si mbok rumah untuk membuatkan minum.

"Aku sudah tahu tujuan kamu kemari, apakah harus langsung ke intinya atau kita basa-basi dahulu?" Ning Nadia tersenyum santai. Wanita itu sekarang terlihat dewasa di mata Hasbi. Setelah apa yang terjadi ia seperti tak menanggung masalah, pembawaannya yang lebih santai menciptakan pribadi Ning Nadia yang lebih baik.

"Kamu baik-baik saja 'kan, Ning?" tanya Hasbi yang tercetus atas pikirannya.

"Aku baik alhamdulillah." Satu lagi, obrolan Ning Nadia dan Hasbi yang biasanya formal, kini terlihat santai. Ning Nadia tidak lagi menyebut dirinya dengan 'saya' begitu pun Hasbi.

"Alhamdulillah. Aku baik juga, walaupun tidak ada yang bertanya."

Keduanya tertawa bersamaan. Hingga dirasa mulai cangguh untuk basa-basi karena tak ada topik, maka keduanya lantas mengobrolkan masalah donatur dan pesantren. Karena kebetulan ada kerja sama antara orang tua Hasbi dan pesantren ini.

****

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang