Tahun kembali berlalu, semesta seolah bergegas menuju akhir kehidupan yang tidak orang yang tahu akan bagaimana. Dalam tahun yang terus bergulir, tanggal yang kembali berulang, ada banyak perjuangan yang tak cukup jutaan lembar untuk ditulis. Namun, kita bisa melihat akhir perjuangan itu pada waktu yang tepat.
Anak remaja yang dulunya masih memakai seragam abu-abu, kini telah berhasil menjadi lulusan sekolah tinggi luar negeri. Tidak ada yang menyangka nasib seseorang. Gus Zain menjadikan dirinya berilmu untuk bermanfaat bagi banyak orang, hingga saat lulus kuliah dia memilih mengabdikan diri di tanah kelahirannya untuk melanjutkan jejak sang Abah.
Tidak lama setelah kelulusan Gus Zain beberapa bulan lalu, Ning Nadia pada hari pun telah menerima kelulusan di kampusnya. Keduanya telah menuntut ilmu sebaik-baiknya, hingga pulang ke rumah menjadi awal pengamalan ilmu tersebut.
Sementara di sisi lain, di belahan bumi lain.
Seorang gadis masih sibuk dalam masa pembelajarannya di salah satu negara, yaitu Yaman. Dia adalah Ahwa, yang memiliki keberuntungan untuk menerima pendidikan di sana. Selama belajar di sana, sudah tidak ada lagi komunikasi antara dirinya dan teman-teman, begitu pun Gus Zain. Rasanya hati Ahwa sedikit tenang dan senang bisa menyibukkan diri pada hal yang bermanfaat.
Hari ini sesuai dengan jadwalnya, Ahwa bisa memainkan ponsel untuk sekedar mengabari keluarga ataupun mengecek sosmed. Kebetulan sekali sinyal sedang mendukung. Akhirnya Ahwa setelah memberi kabar pada keluarga, ia membuka aplikasi Instagram, mengupload pemandangan kota Tarim yang indah guna memberi kabar pada teman-teman atau followersnya bahwa Ahwa baik-baik saja.
Hingga tanpa sengaja Ahwa melihat story Instagram Gus Zain yang diposting 22 jam lalu, terlihat suasana bandara yang sedikit tertangkap oleh mata Ahwa sosok Ning Nadia di sana. Ahwa tersenyum tipis, lalu menggeser ke story berikutnya yang terlihat suasana pelaminan, itu terposting 14 jam yang lalu.
Senyuman tipis itu diakhiri oleh suara embusan pelan dari Ahwa, lalu jemarinya mengetik sebuah ucapan selamat. Detik berikutnya terlihat pesan DM dari Hasbi, sepertinya pria itu memantau akun Ahwa makannya langsung menghubungi.
Awalnya Hasbi menanyakan kabar basa-basi, lalu sebuah pertanyaan menarik perhatian Ahwa.
Hasbi: Kamu gak pengen pulang? Gak kangen apa?
Ahwa: Kayanya pengen jadi warga negara Yaman aja deh.
Hasbi: Serius? Gak kangen salah satu warga negara Indonesia?
Ahwa tertawa sedikit membacanya, jarinya kembali membalas pesan.
Ahwa: Pasti kangen lah.
Hasbi kini menyingkirkan buku-buku bacaannya karena mulai seru dalam obrolan dengan Ahwa. Ia tersenyum tipis pada balasan terakhir Ahwa.
Hasbi: Serius?
Balasan cepat datang dari Ahwa. Seolah ingin meluruskan, mungkin.
Ahwa: Keluarga maksudnya.
***
Alunan musik gambus menggema merdu di sebuah pelataran pondok pesantren yang kini telah disulap layaknya gedung mewah dengan nuansa putih dan emas. Para tamu serta kerabat yang hadir tampak turut serta berbahagia. Mereka saling berbincang dengan senyum yang hampir tak luput barang sedetik pun.
Tidak sedikit pula para santri yang ikut mengembangkan senyum bahagia di saat tidak sedikit pula yang memasang raut wajah antara bahagia dan sedih karena gus pujaan hati mereka kini akan melepaskan masa sendirinya. Kini mereka sudah tidak bisa lagi mengimpikan masa depan yang cerah bersama gus pujaan hati mereka itu meski hanya sekadar candaan.
Akad nikah akan dilangsungkan dalam waktu beberapa menit ke depan. Meski di sisi lain ada yang ikut berdegup kencang melihat segala pemandangan di depannya, dia mencoba tetap tenang dan tersenyum hangat menyambut sapaan yang tertuju untuknya.
Gus Zain, pria dengan kemeja putih serta jas hitam dan sarung abu-abu bercorak lengkap dengan peci hitamnya tengah terduduk dengan sesekali menunjukkan gelagat gelisah. Sesekali dia akan berdiri menyambut hangat yang menyapa dirinya.
Hingga musik gambus berhenti, dirinya semakin tak tenang. Akad nikah akan segera dilangsungkan. Lagi-lagi dia tersenyum manis saat ada anak kecil menarik tangannya. Hingga sebuah tepukan di pundak sedikit membuatnya terlonjak kaget.
“Gus.”
“Innalillahi.” Gus Zain mencoba mengendalikan raut mukanya.
“Nejenengan siap?”***
KAMU SEDANG MEMBACA
Determinan (END)
RomanceLangkahnya terhenti, diam terpaku. Bibirnya ingin sekali menyuarakan segala resah relungnya yang merasa tak diperlukan adil oleh keadaan. Dia tak meminta rasa itu hadir. Jika dia menyemogakan yang terbaik, lantas kenapa tinta yang tertoreh di lembar...