Part▪︎11

94 5 0
                                    

Setelah pertemuan edisi tasyakuran kejuaraan Hasbi di kantin saat itu, terbentuklah sebuah grup obrolan yang hanya dihuni oleh lima manusia saja dari sekian banyak manusia di muka bumi ini. Siapa lagi jika bukan Gus Zain, Hasbi, Ning Nadia, Ahwa, dan Kirana.

Bukan grup kumpulan anak pintar ataupun julukan-julukan baik lainnya, melainkan grup yang terkadang bermanfaat dan keseringan tidak jelasnya. Tempat Gus Zain menemani Hasbi mendebatkan hal penting hingga yang tidak penting sekalipun, Ning Nadia yang hanya sesekali bergabung, Kirana yang heboh, serta Ahwa yang selalu menyimak dan akan memunculkan diri saat namanya disebut saja dalam hal yang sangat penting.

Seperti malam ini. Ketidakjelasan Hasbi tengah berlangsung. Tiba-tiba saja dia mengirimkan foto dirinya yang terlihat sedang bersama Gus Zain. Kirana yang heboh pun bertanya kenapa tidak mengajak. Akan tetapi, tak ada jawaban. Dasar, Hasbi. Dia yang memulai, dia juga yang mengabaikan.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu mengalihkan atensi Ahwa yang tengah menyimak obrolan tidak jelas antara Hasbi dan Kirana. Tanpa berlama-lama, dirinya bergegas beranjak membukakan pintu karena kini dirinya hanya sendirian di rumah. Keluarganya sedang pergi atas dasar urusan keluarga, tetapi tak melibatkan dirinya.

“Siapa, sih, malem-malem bertamu,” gumam Ahwa lirih.

Pintu terus diketuk semakin kencang. Menambah tingkat kemalasan Ahwa menerima tamu saat sedang sendirian di rumah. “Iya, sebentar!”

Pintu dibuka, menampakkan sosok wanita berbaju putih yang tengah tersenyum menampakkan deretan gigi rapinya. Bukan siapa-siapa. Hanya Kirana rupanya. Ahwa pun mempersilakan masuk meskipun sedikit bingung kenapa sahabatnya ini tiba-tiba sudah berada di depan rumah, padahal baru beberapa menit yang lalu membalas pesan Hasbi di grup obrolan.

“Sepi, Wa,” ucap Kirana berbasa-basi.

“Habis ini juga rame. Ada kamu soalnya.” Ahwa tak salah. Suara Kirana memang menipu. Terdengar sangat ramai, padahal bersumber dari satu suara.

“Hahaha. Cocok banget, sih, kita. Pendiem dan berisik.” Definis ucapan menjadi kenyataan. Baru saja Ahwa berucap, gelak tawa Kirana sudah menggema.

“Nyebut, yuk!” Ahwa berjalan memasuki kamar dan diikuti Kirana.

“Halah! Kamu kalau sama aku doang juga banyak omong. Aku itu sampai kayak nggak terima. Kok bisa orang-orang ngomong kamu pendiem banget. Padahal aslinya aku harus ngelakuin penelitian panjang buat nemuin letak pendiemnya kamu di mana.” Panjang lebar Kirana berbicara.

“Lebay! Ngapain ke sini?”

“Bosen di rumah. Jadi ya udah, nemenin Ahwa aja di sini yang sendirian.” Kirana merebahkan tubuhnya di kasur empuk Ahwa.

“Anak rumahan malah seneng kali ditinggal sendirian di rumah,” sahut Ahwa seraya membuka sebuah buku.

Perlahan, tangannya yang menggenggam pulpen bergerak dengan tenang. Menyuarakan apa yang hatinya rasakan dengan menuliskan rangkaian kata yang membentuk barisan-barisan. Tertulis rapi seraya menata hati.

“Kenapa suka banget nulis?” Kirana yang seringkali dijadikan pembaca pertama tulisan Ahwa terkadang heran. Kenapa tak habis-habisnya kalimat puitis itu muncul.

“Suka aja. Kayak jadi lega kalau udah menuangkan apa yang aku rasain lewat tulisan.” Berhenti sejenak, Ahwa tengah berpikir diksi apa yang tepat.

“Nggak semua tulisan itu tentang perasaan sepihak tanpa ngelibatin orang lain, 'kan?” Ahwa mengangguk. “Pasti ada yang ditujukan buat seseorang atau menggambarkan seseorang.” Lagi, Ahwa mengangguk.

“Kenapa nggak ngomong langsung?” tanya Kirana.

“Nggak semua orang punya keberanian buat ngungkapin apa yang dia rasakan, Kir.” Dengan tegas Ahwa menjawab.

“Kenapa seorang Ahwa nggak berani mengutarakan langsung? Kadang aku heran aja, kamu pas marah sama seseorang cuma bisa diem, kadang ujung-ujungnya nangis. Lagi dijelek-jelekin orang juga diem.”

Ahwa berhenti menulis. Dia terdiam sejenak, tatapannya seolah menerawang jauh pada hari-hari yang telah berlalu itu. “Dulu, dia pernah dengan percayanya menceritakan apa aja yang dia rasakan, Kir. Tapi akhirnya dia sadar, kalau nggak semua manusia bisa dipercaya. Iya, nggak semua, tapi sejauh dia menjalani hidupnya, dia nggak nemuin orang yang bener-bener bisa dipercaya. Dia cuma nemuin orang-orang yang kelihatannya peduli, tapi ternyata apa yang dia ceritain dijadiin bahan obrolan pas lagi kumpul sama temennya yang lain. Dia juga pernah sampai di titik saat dia mau ngomong, nggak ada yang mau ngedengerin, dan saat lagi ngomong, nggak ada yang bener-bener ngedengerin dengan sepenuh hati.”

Ahwa diam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. “Dan baru belum lama ini dia ketemu orang yang bener-bener bisa dipercaya. Namanya Kirana. Tapi dia minta maaf, karena apa yang pernah dialami, dia sekarang jadi lebih memilih memendam semuanya sendiri, nggak bisa semua apa yang dia rasain dia ceritain juga.”

Ahwa berbalik, menatap sahabatnya dan berucap, “Maaf, ya, Kir.”

“Ya ampun? Puitis banget sahabat saya, Ya Allah.” Layaknya terharu, Kirana menggerakkan tangannya seolah menghapus jejak-jejak air mata.

“Nggak apa-apa. Seblak-blakannya aku, nggak semua masalah hidupku diceritain ke kamu juga, Wa.” Ucapannya melembut. Ahwa menemukan Kirana yang lain malam ini. Sisi lain Kirana yang tak pernah ditunjukkan di depan umum.

Kebanyakan orang-orang hanya tahu Kirana yang banyak bicara dengan riangnya. Padahal terkadang jika sedang berdua saja, Kirana tetap menjadi si banyak bicara, tetapi lebih tenang. Saat itulah Ahwa menjadi pendengar. Dia mencoba menjadi pendengar yang baik, karena dia tahu rasanya seolah didengarkan, padahal sebenarnya tidak.

“Udah ah. Aku ke sini buat nemenin kamu biar nggak takut sendirian, ya. Bukan mau sedih-sedihan. Tapi makasih udah cerita. Aku nggak yakin ke depannya bakal gimana, jadi aku nggak bisa janji jadi sahabat yang baik buat kamu. Tapi aku bakal tetep berusaha jadi sahabat yang baik.” Kirana beranjak dari duduknya. Menghampiri Ahwa yang masih terduduk di kursi meja belajar.

“Makasih, Kirana yang ayune puolll. Tapi aku nggak takut kali. Itung-itung simulasi berjalan sendirian. Walaupun aku duduk doang, sih. Hahaha,” canda Ahwa di akhir kalimat.

“Apa, sih? Ya, walaupun nanti pas udah dewasa nggak bakal selalu ada bareng-bareng terus karena kesibukan masing-masing, tapi insyaallah aku selalu ada kalau kamu butuh aku kapanpun. Ih, gila! Kirana bisa bijak juga, hahaha.” Kembali ke Kirana yang meramaikan suasana.

Ahwa hanya menanggapi dengan tertawa dan kembali fokus pada bukunya yang masih terbuka. Arah pandang Kirana pun ikut tertuju pada buku itu. Setertutupnya Ahwa, dia masih menceritakan seseorang yang dia kagumi.

Ah, tidak. Lebih tepatnya Kirana tidak sengaja tahu dan akhirnya dengan terpaksa Ahwa menceritakan hampir semuanya. Tentang kekagumannya terhadap seseorang itu. Seseorang yang telah cukup lama menempati salah satu posisi di benak Ahwa dan ... hati, mungkin.

“Masih suka?”

“Mengagumi,” ralat Ahwa.

“Iya, apalah itu istilahnya. Kenapa nggak ngomong langsung? Maksudnya terang-terangan sedikit. Nggak berani juga? Cewek yang nge-confess itu bahaya juga soalnya,” ucap Kirana.

“Terlepas dari berani atau enggak, lagian nggak ada gunanya juga ngomong langsung. Kita nggak bakal bersatu, Kir. Kita beda.” Ahwa berucap dengan tegas.

“Ngomong langsung bukan berarti ujungnya bakal bersatu, Wa. Seenggaknya lega udah ngungkapin atau ngasih kode. Tapi kalau Tuhan bilang iya, gimana?”

“Ya nggak tau. Intinya aku minder. Tapi prinsip hidupku, kalau aku suka seseorang, aku nggak akan ngungkapin langsung. Untuk sekarang, aku cukup lega ngungkapin lewat tulisan.” Ahwa menutup bukunya. Kosakata yang terangkai di benaknya kini telah menguap entah ke mana.

“Pengin tapi nggak mau. Gimana dah itu. Bingung sendiri, 'kan, sama kalimatnya?”

***

Hallo, jadwal update cerita ini tidak akan setiap hari, ya. Hanya up pada hari rabu dan sabtu. Terima kasih.

Selamat membaca.

Determinan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang